Sinopsis
Pada suatu pagi di Jakarta,20 Maret 2025, saat kota masih tenggelam dalam hiruk-pikuk kemacetan dan deru ambisi, tak seorang pun menyangka bahwa langit akan berubah menjadi jurang maut.
Di tengah manusia yang berlomba menembus kemacetan demi absen yang tak merah, tiba-tiba—tanpa peringatan, tanpa alasan—gravitasi mengkhianati bumi.
Semua yang tak terikat kuat: mobil, motor, papan reklame, bahkan manusia—terhempas ke langit, seolah langit kini adalah bawah dan tanah tak lagi punya kuasa.
Dalam hitungan menit, Jakarta menjadi sunyi. Jalanan kosong, penuh pakaian tanpa pemilik dan kendaraan tanpa pengemudi. Kota ini, yang tak pernah tidur, kini seperti dilumpuhkan dalam sekejap.
Di tengah kekacauan itu, Adityo, seorang petugas kebersihan yang nyaris tak dianggap, hanya punya satu pikiran: pulang. Bukan karena rumah, bukan karena harta—tapi karena Alita, anak perempuannya yang mungkin sedang sendirian… atau sedang terlempar ke langit.
Hukum Gravitasi Baru
- Setiap matahari terbit arah gravitasi akan berubah secara instan ke atas. Langit jadi bawah, tanah jadi atas.
- Saat matahari terbenam gravitasi kembali seperti semula. Langit jadi atas, tanah jadi bawah.
- Hukum gravitasi baru tidak berlaku di area rumah Hariyanto Wirawan.
- Karena gravitasi mengikuti pergerakan matahari, maka Hukum gravitasi baru berlaku secara lokal menyesuaikan siklus matahari.
Dampak Fisik dan Alam
1. Atmosfer Akan Terkoyak dan Terguncang
- Gravitasi menjaga atmosfer tetap menyelimuti Bumi.
Saat gravitasi terbalik, molekul udara akan terdorong ke atas → atmosfer akan membumbung dan menggelembung, menciptakan zona vakum sementara di dekat permukaan. - Tekanan udara akan turun drastis saat sunrise/sunset, lalu naik kembali → ini menciptakan gelombang tekanan destruktif, semacam shockwave.
Dampak:
- Tornado mini bisa muncul tiba-tiba.
- Gelombang angin ekstrem menyapu dataran, terutama di dataran rendah.
- Fenomena cuaca akan jadi tak stabil dan brutal—terjadi badai lokal hampir setiap hari.
2. Lautan Akan Bergolak Tak Terkendali
- Air laut yang biasanya tertahan oleh gravitasi akan ikut terangkat.
Meskipun laut “melekat” ke permukaan, pada skala global air bisa terangkat membentuk dinding, lalu ambruk saat gravitasi kembali normal.
Dampak:
- Tsunami dua kali sehari, mengikuti pola sunrise dan sunset.
- Pelabuhan, pulau, dan daerah pesisir akan hilang perlahan.
- Sungai bisa mengalir terbalik atau terangkat seperti tali air di langit.
3. Erosi & Kerusakan Tanah Masif
- Batuan longgar, tanah gembur, dan pasir akan terlepas ke udara.
- Hutan-hutan bisa tercerabut dari akarnya. Gunung dan tebing bisa runtuh ke langit saat sunrise/sunset.
Dampak:
- Tanah longsor ke atas, lalu hujan batu saat gravitasi normal kembali.
- Gurun akan berubah menjadi badai debu vertikal.
- Lubang-lubang raksasa bisa terbentuk (karena lapisan atas tanah lenyap).
4. Aktivitas Vulkanik & Seismik Meledak
- Perubahan tekanan mendadak di kerak bumi karena hilangnya berat permukaan → tekanan magma meningkat → vulkanisme meledak.
- Tektonik menjadi tidak stabil karena gaya tekan bumi berubah arah dua kali sehari.
Dampak:
- Letusan gunung api lebih sering.
- Gempa bumi terjadi secara global, terutama di zona subduksi.
- Pulau-pulau vulkanik bisa terbentuk lebih cepat—atau hancur saat baru muncul.
5. Ekosistem dan Hewan Terganggu
- Burung, serangga terbang, dan makhluk yang bergantung pada pola migrasi akan kacau total.
- Tanaman tak bisa bertahan karena akarnya tercabut berkali-kali.
- Mamalia dan manusia kehilangan orientasi gravitasi → cacat, trauma, atau mati.
Dampak:
- Kepunahan massal dalam waktu 1–3 bulan.
- Hanya makhluk bawah tanah atau air dalam yang bertahan lebih lama.
6. Anomali Magnetik dan Rotasi Bumi
- Jika gravitasi berubah arah, efek gyroskopik dan distribusi massa bumi terganggu.
- Rotasi bumi bisa melambat, bergetar, atau bahkan berubah poros sedikit demi sedikit.
Dampak:
- Kutub magnet bisa bergeser.
- Satelit jatuh dari orbit.
- Sistem GPS, komunikasi, dan cuaca lumpuh.
Simulasi Bencana Gravitasi Terbalik Hingga Hari ke-7
Hari | Waktu | Jakarta Selatan (Kemang, Tebet, Pancoran) | Pondok Gede | Puncak Bogor |
1 | Pagi | Gravitasi terbalik. Benda dan air sungai melayang lalu jatuh. Banjir ringan. | Sungai surut lalu tumpah kembali. Genangan cepat muncul. | Relatif aman. Hujan puing ringan. |
Sore | Banjir lokal 30–50 cm. Kendaraan berserakan. | Saluran air jebol, warga panik. | Kabut pekat, hujan lebat. Longsor kecil. | |
2 | Pagi | Banjir 1 m. Banyak rumah mulai terendam. | Rumah-rumah rendah terendam. Listrik padam. | Jalur utama mulai tidak bisa dilalui. |
Sore | Hujan benda dan mayat. Trauma meningkat. | Mulai kekurangan makanan dan air bersih. | Lereng curam retak. Risiko longsor besar. | |
3 | Pagi | Genangan tidak surut. Banyak yang pindah ke atap atau gedung tinggi. | Sekolah, pasar tutup total. Krisis air minum. | Tanah makin tidak stabil. Suplai logistik terputus. |
Sore | Banjir makin dalam. Jalan berubah jadi sungai. | Pengungsian dadakan. Penyakit kulit mulai menyebar. | Jalur Megamendung longsor. Desa mulai terisolasi. | |
4 | Pagi | Struktur bangunan mulai rusak. Warga buat rakit atau jembatan darurat. | Air setinggi dada. Dapur umum terbentuk di lantai atas masjid. | Longsor besar menutup jalan utama. Hanya jalur setapak tersisa. |
Sore | Hujan puing makin parah. Banyak rumah roboh. | Banyak hewan peliharaan mati atau hilang. | Tanah longsor kecil susulan. Jalan menuju kebun teh hancur. | |
5 | Pagi | Kawasan menjadi rawa penuh sampah dan puing. | Warga mulai kehabisan obat-obatan. | Banjir lumpur dari pegunungan mulai turun perlahan. |
Sore | Kepanikan massal. Banyak yang mencoba kabur ke dataran tinggi. | Sebagian mencoba evakuasi ke arah timur Bekasi. | Akses radio dan sinyal komunikasi hilang. | |
6 | Pagi | Kebakaran terjadi akibat hubungan pendek di gedung rusak. | Beberapa daerah menjadi kubangan permanen. | Satu desa runtuh terbawa tanah. Banyak yang terjebak. |
Sore | Pemerintah lokal tidak responsif. Warga membentuk kelompok bertahan. | Banyak warga hilang atau hanyut. | Anak-anak dan lansia dievakuasi ke villa-villa tua. | |
7 | Pagi | Banjir makin dalam, setara lantai 2. Kota terasa seperti kota mati. | Genangan tak kunjung surut. Air mulai tercemar berat. | Penduduk terisolasi total. Hutan jadi satu-satunya pelindung. |
Sore | Hujan badai dan gravitasi terbalik tumpang tindih. Bencana memuncak. | Banyak keluarga terpisah. Trauma anak-anak meningkat. | Terjadi retakan tanah selebar jalan. Beberapa vila ambruk. |
Iconic Dialog The Day Gravity Betrayed Us
Alita : “ Pah, aku takut”
Adityo : “Takutnya bagi dua. Ya.”
Cara Kerja Alur Cerita
- Timeline tidak linear
- Flashback digunakan untuk :
- Membangun emosional terhadap suatu karakter
- Memberikan clue baru untuk apa yang akan nanti terjadi
- Pengulangan kejadian dari perspektif karakter yang berbeda
- Karakter yang dibangun tidak selamanya bisa selamat walau dekat dengan pemeran utama.
- Kematian bisa terjadi kapan saja untuk siapa saja.
- Tidak ada baik atau buruk, good or evil. Hanya ada perspektif dan waktu kejadian.
- Moment penting selalu dijelaskan secara detail atau dramatis.
Outline Cerita
Season 1
- Story : Perjuangan Adityo bertahan hidup didunia yang kacau ini, dan hanya memiliki waktu 5 hari untu kmencari Alita sang anak Adityo.
- Goals : Adityo bertemu dengan Alita.
- Conclusion : Adityo berhasil bertemu dengan Alita walau hanya sebentar karena Alita diculik kelompok tak dikenal.
- Character :
- Adityo bertemu dengan Dhika, Raka, dan Vira
- Alita bertemu dengan Mira
- Perkenalan tipis tentang karakter Haryanto Wirawan
- Adityo melawan Arfan dan kelompoknya
- Dhika menjadi korban antara perseteruan Adityo dan Arfan
- Vira membongkar rahasia Arfan
- Arfan dibunuh kelompoknya sendiri
- Mira dan Alita bertemu dengan Adityo
- Mira dan Alita diculik kelompok yang tidak dikenal
Season 2
- Story : Perjuangan Adityo mencari informasi keberadaan Alita dari kelompok Mataram dan Trigon untuk menyelamatkan Alita.
- Goals : Menyelamatkan Alita dari Langsat
- Conclusion : Alita berhasil diselamatkan. Adelina istri Adityo adalah ketua Langsat yang dikenal sebagai Sura Pati
- Character :
- Adityo bertemu dengan Bima
- Adityo bertemu dengan Prof. Mahesa
- Raka bertemu dengan Mira
- Adityo bertemu dengan Sura Pati
- Terbongkar Sura Pati adalah Adelina
- Raka dan Mira bertemu dengan Alita
- Mira mati dalam penyelamatan Alita
- Adityo bertemu dengan Alita
Season 3
- Story : Perjalanan Adityo menyatukan Trigon dan Mataram agar bisa membantu melawan Langsat dan mengembalikan Adelina.
- Goals : Hancurkan Langsta, selamatkan Adelina
- Conclusion : Adelina mati, dan rahasia terbongkar bahwa Alita bukan anak kandung Adityo
- Character :
- Adityo bertemu dengan Bima
- Adityo bertemu dengan prof. Mahesa
- Raka mati saat melawan Langsat
- Adelina mati oleh Bima
- Alita dijatuhkan ke langit oleh Bima
- Vira melarikan diri
Season 4
- Story : Adityo berubah 180 derajat. Adityo berburu Bima untuk mengorek informasi tentang Alita dan ingin membunuhnya. Tapi muncul Calista, wanita misterius yang sangat mengenal dan peduli dengan Adityo dan membuat Adityo jatuh hati kepadanya.
- Goals : Siapa Alita, bunuh Bima
- Conclusion :
- Calista adalah Alita dewasa yang terlempar ke dunia paralel
- Calista dibunuh Adityo karena dicurigai berkomplotan dengan Bima
- Bima ditolong oleh Vira agar sulit ditemukan oleh Adityo
- Adityo menjatuhkan dirinya ke langit
- Character :
- Adityo bertemu dengan Calista
- Calista bertemu dengan Bima
- Adityo bertemu dengan Bima, Calista, dan Vira
- Adityo membunuh Calista
- Adityo menjatuhkan diri ke langit
Golongan
Langsat ( Langit Bangsat )
Kelompok orang yang bertahan hidup dengan hukum siapa kuat dia yang berkuasa. Mereka menjarah dan memperbudak manusia untuk bisa bertahan hidup.
Plot Twist
Tujuan Langst berdiri adalah seleksi dan mengevolusi manusia agar lebih kuat dan mandiri. Karena mereka memiliki ideologi, bahwa moral sebelum Gravitasi tidak berlaku. Orang lemah akan selalu menyusahkan dan bisa membahayakan orang yang kuat. Oleh karena itu sebelum ditusuk dari belakang oleh orang lemah, maka orang kuat harus menguasai.
Ketua : Sura Pati nama samaran yang digunakan oleh Adelina
Mataram
Kelompok orang yang menerima dengan perubahan dunia. Ideologi mereka berbanding terbalik dengan Langsat. Walau di situasi yang kacau, manusia harus tetap hidup dalam keseimbangan dan memiliki aturan hidup.
Plot Twist
Ketua Mataram adalah selingkuhan dari Adelina, dan ayah kandung Alita serta mantan tim Adityo yang dahulu diselamatkan.
Ketua : Bima
Trigon
Kelompok orang yang berusaha untuk mencari kebenaran atas kejadian gravitasi terbalik dan berusaha untuk mengembalikan kondisinya. Mereka percaya hal seperti ini bisa dijelaskan secara logika sains. Mereka satu – satunya golongan yang memiliki peralatan modern baik itu untuk bertahan hidup tapi juga untuk bertempur.
Prot Twist
Mereka pada dasarnya adalah orang – orang yang mengandalkan kepintaran. Oleh karena itu mereka kekurangan tentara untuk menjaga atau menyerang. Mereka bisa mengorbankan orang lain untuk menyelamatkan diri sendiri. Parahnya sang ketua tidak segan untuk mengorbankan nyawa manusia lain untuk mencapai kebenaran sainsnya.
Ketua : Prof. Mahesa
Rimba
Mereka adalah orang-orang yang tidak termasuk golongan manapun. Pada dasarnya mereka memang tidak tahu ada 3 golongan tersebut atau sengaja memisahkan diri.
Plot Twist
Haryanto Wirawan termasuk dalam golongan Rimba.
Golongan ini tidak memiliki ketua karena bukan dalam bentuk kelompok.
Katalog Karakter
Adityo
Identitas Umum
- Nama Lengkap : Adityo Prasetya
- TTL : Bekasi, 13 Maret 1989
- Usia : 36 tahun
- Pekerjaan : Cleaning Service
- Role : Ayah Tiri ( tidak dia ketahui ) Alita, Istri dari Adelina
Kepribadian
- Periang, ramah, dan penuh kasih sayang terhadap anaknya
- Terlalu mudah memaafkan orang lain
- Loyal terhadap keluarga
- Suka menyimpan dengan baik kondisi depresinya
Kemampuan
- Cepat meniru kemampuan orang lain
- Saat dia sudah meniru kemampuan orang lain dia tidak dapat mengembangkannya
- Saat Adityo tidak mengerti inti permasalahan maka dia tidak akan menemukan jawaban tanpa dibantu atau dicontohkan
- Saat Adityo tidak mengerti inti skill baru maka dia hanya sebatas meniru apa yang dilakukan orang lain.
- Saat Adityo sudah mengerti permasalahan maka dia akan sangat mudah menemukan solusinya
- Saat Adityo sudah mengerti inti skill baru maka dia dapat menguasainya seperti seorang master dan mengembangkan sesuka hatinya.
- Sangat sabar dan dapat menyembunyikan emosi aslinya
- Mental dan fisiknya jauh lebih kuat daripada orang rata – rata
Kutipan Khas
“Gue cuma mau anak gue hidup.”
“Kalau dunia ini jatuh, gue bakal tetep berdiri buat Alita.”
“Takutnya bagi dua, ya.”
Alita
Identitas Umum
- Nama Lengkap : Alita Sura Prasety
- TTL : Bekasi, 4 Januari 2021
- Usia : 4 tahun
- Role : Anak dari Adelina dan Bima. Anak tiri Adityo
Kepribadian
- Naif, egois, tetapi memiliki etika dan kasih sayang
- Penuh harapan dan keyakinan kepada orang tuanya
Kemampuan
- Anak kecil, namun belajar bertahan hidup dengan bantuan Mira
- Menjadi simbol harapan dan pusat moral cerita
Kutipan Khas
“Papa..Alita takut
“Kata Kak Mira, aku harus tetep hidup”
Adelina ( Sura Pati )
Identitas Umum
- Nama Lengkap : Adelina Saraswati
- TTL : Manado, 8 Agustus 1991
- Usia : 34 tahun
- Pekerjaan : Head of Marketing
- Role : Istri Adityo. Ibu kandung Alita. Selingkuhan Bima. Ketua Langsat
Kepribadian
- Mandiri, ambisius, rasional, namun menyimpan rasa bersalah
- Cekatan dan perfeksionis
- Terjebak dalam dilema antara cinta dan kekuasaan
Kemampuan
- Kemampuan memimpin, menyusun strategi bertahan hidup
- Punya pengaruh kuat terhadap orang banyak
- Kurang empati personal namun sangat logis
Kutipan Khas
“Aku gak pernah pengen nyakitin kamu… tapi aku harus milih.”
“Kalau aku gak kuat, siapa yang jagain mereka?”
Bima
Identitas Umum
- Nama Lengkap : Bima Aksara
- TTL : Palembang, 8 Agustus 1993
- Usia : 32 tahun
- Pekerjaan : Manager HRD
- Role : Ketua Mataram. Selingkuhan Adelina
Kepribadian
- Karismatik, logis, percaya diri, dingin secara emosional
- Punya cita-cita besar membangun tatanan baru
Kemampuan
- Negosiator ulung, pemimpin militan, pemikir strategis
- Ahli dalam mengelola konflik dan mengatur kekuasaan
Kutipan Khas
“Kacau atau gak, dunia butuh pemimpin.”
“Gue gak butuh cinta, gue butuh power.”
Prof. Mahesa Dirgantara
Identitas Umum
- Nama Lengkap : Mahesa Dirgantara
- TTL : Madiun, 2 April 1973
- Usia : 52 tahun
- Pekerjaan : Profesor di Universitas ternama di Indonesia
- Role : Ketua Trigon
Kepribadian
- Dingin, rasional, tak punya empati personal, visioner ekstrem
- Percaya pada ilmu lebih dari manusia
Kemampuan
- Ahli teori gravitasi, pemimpin intelektual, manipulatif melalui logika
- Tidak ragu mengorbankan banyak orang demi ilmu
Kutipan Khas
“Kalau satu orang mati demi jutaan, itu bukan dosa—itu logika.”
“Saya tidak menyelamatkan manusia. Saya menyelamatkan kemungkinan.”
Haryanto ( The Lucky Bastard )
Identitas Umum
- Nama Lengkap : Haryanto Wirawan
- TTL : Surabaya, 25 Februari 1975
- Usia : 50 tahun
- Pekerjaan : Konglomerat di Indonesia
Kepribadian
- Manipulatif, penuh percaya diri, licik dan oportunis
- Punya koneksi luas dan kemampuan bertahan melalui sumber daya
Kemampuan
- Ahli bernegosiasi dan memanipulasi situasi politik
- Selalu berada di sisi pemenang, tidak memihak ideologi
Kutipan Khas
“Saya gak ikut perang. Saya jual pelurunya.”
“Kalau semua jatuh, saya tetep punya tanahnya.”
Raka
Identitas Umum
- Nama Lengkap : Raka Bhaskara
- TTL : Jakarta, 17 Mei 1987
- Usia : 38 tahun
- Pekerjaan : Preman pasar, mantan narapidana
- Role : Dianggap abang oleh Adityo
Kepribadian
- Kasar, blak-blakan, brutal, namun loyal dan punya hati
- Bodoh secara akademik, tapi punya insting tajam dan kepekaan sosial
Kemampuan
- Ahli bertarung tangan kosong dan senjata
- Protektif terhadap Adityo, jadi pelindung fisik dalam perjalanan
Kutipan Khas
“Gue emang bego, tapi gue tahu mana temen, mana sampah.”
“Kalau dunia udah jungkir balik, kita cuma bisa pilih: ikut muter, atau patah leher.”
Dika
Identitas Umum
- Nama Lengkap : Dika Sahardika
- TTL : Bandung, 6 April 2011
- Usia : 14 tahun
- Pekerjaan : Pelajar SMP
- Role : Partner Adityo yang pintar
Kepribadian
Dika adalah anak yang ceria, penuh harapan, dan memiliki semangat hidup yang tinggi. Meskipun dunia di sekelilingnya hancur, dia tetap mempertahankan sikap optimis dan selalu berusaha melihat sisi baik dari segala hal. Namun, seiring berjalannya waktu, dia mulai belajar menghadapi kenyataan pahit dari dunia baru yang keras ini. Meskipun begitu, dia tetap mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi, percaya bahwa setiap orang memiliki kebaikan dalam diri mereka.
Kemampuan
- Bertahan hidup di alam liar (berburu, merakit alat sederhana, membaca tanda-tanda alam).
- Memiliki kemampuan memperbaiki atau menggunakan teknologi lama yang ditemukan di sekitar.
- Dika juga memiliki kecerdasan dan rasa ingin tahu yang tinggi, memungkinkan dia untuk cepat belajar hal-hal baru.
- Cerdas dan Kreatif: Dika memiliki kemampuan berpikir cepat dalam situasi sulit, sering kali menemukan solusi inovatif untuk masalah yang ada. Dia pandai menggunakan barang-barang yang tampaknya tidak berguna dan mengubahnya menjadi sesuatu yang berguna. Kreativitasnya membuatnya mampu merancang alat atau rencana bertahan hidup yang tak terpikirkan oleh orang lain.
Kutipan Khas
“Saya tahu dunia ini udah nggak sama lagi, tapi kalau kita nggak bertahan, siapa yang bakal ngelanjutin hidup kita?”
Vira
Identitas Umum
- Nama Lengkap : Vira Santika
- TTL : Jakarta, 11 Oktober 1993
- Usia : 32 tahun
- Pekerjaan : LC
- Role : Partner Adityo yang manipulatif
Kepribadian
Vira adalah wanita yang cerdas, namun sangat licik dan manipulatif. Dia tahu bagaimana memanfaatkan emosi dan kelemahan orang lain untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Tidak ada rasa malu dalam dirinya untuk menggunakan orang lain sebagai alat untuk bertahan hidup. Meskipun tampaknya peduli pada orang-orang tertentu, Vira sebenarnya sangat egois dan sering kali bertindak hanya demi kepentingan dirinya sendiri. Dia pandai beradaptasi dan berbicara dengan berbagai orang untuk memanfaatkan situasi, tetapi juga tidak ragu untuk berkhianat jika dirasa itu menguntungkannya.
Kemampuan
- Manipulatif dan memanfaatkan orang lain untuk mencapai tujuannya.
- Cerdas dalam beradaptasi dengan situasi dan memanfaatkan informasi untuk keuntungan pribadi.
- Kemampuan diplomasi yang tinggi: bisa merayu, membujuk, atau menekan orang lain untuk mencapai tujuannya.
- Tidak memiliki keterampilan bertarung yang luar biasa, namun memiliki kemampuan bernegosiasi dan membangun aliansi yang membuatnya bertahan hidup dalam dunia yang keras.
Kutipan Khas
“Kepercayaan itu bukan hadiah, Adityo. Itu adalah mata uang. Dan gue nggak segan-segan beli kalau emang harus.”
Mira
Identitas Umum
- Nama Lengkap : Mira Anggraeni
- TTL : Jakarta, 14 Mei 1996
- Usia : 29 tahun
- Pekerjaan : Bidan
- Role : Partner Alita
Kepribadian
- Lembut, penyayang, keibuan, namun sangat tegar
- Pandai menjaga anak-anak, punya rasa peduli mendalam
Kemampuan
- Ahli pertolongan pertama dan perawatan medis darurat
- Menjadi figur ibu bagi Alita dan moral kompas di awal cerita
Kutipan Khas
“Kadang, yang bikin kita bertahan bukan kekuatan… tapi kasih yang belum selesai kita beri.”
“Kalau kamu takut, itu tandanya kamu masih hidup.”
Arfan
Identitas Umum
- Nama Lengkap : Arfan Dwi Santoso
- TTL : Purwokerto, 7 Agustus 1987
- Usia : 38 tahun
- Pekerjaan : Staff distribusi
- Role : Ketua grup penyintas season 1
Latar Belakang
Sebelum fenomena gravitasi terbalik, Arfan adalah seorang pegawai rendahan di sebuah perusahaan distribusi. Ia dikenal sebagai sosok yang lemah, penakut, dan sering menjadi korban perundungan dari rekan kerja maupun lingkungan sosialnya. Dalam menghadapi tekanan, Arfan memilih untuk menjilat atasan demi menyelamatkan diri, meski harus mengorbankan teman-temannya sendiri. Tak pernah dihormati, bahkan tidak dihargai, hidupnya nyaris tak berarti selain untuk dijadikan pelampiasan orang lain.
Namun ketika bencana besar menghantam dunia, insting bertahan hidupnya justru membawa dia naik ke posisi tak terduga. Di tengah kekacauan, Arfan berhasil menyusun narasi bahwa dirinya adalah sosok yang tenang dan penuh perhitungan. Ia memanfaatkan ketakutan dan ketidaktahuan orang-orang sekitarnya untuk membangun kekuasaan kecil sebagai pemimpin kelompok survivor.
Kepribadian
Arfan adalah seseorang yang penuh rasa takut, rendah diri, dan trauma masa lalu. Namun, semua itu ia bungkus dalam lapisan kepercayaan diri palsu saat memimpin. Ia bukan pemimpin yang berani atau tangguh, melainkan seorang oportunis. Ia tahu bagaimana memanfaatkan situasi dan ketakutan orang lain untuk mengangkat dirinya. Di dalam dirinya masih tersimpan sifat pengecut dan penjilat, tetapi kini dikamuflasekan dalam balutan otoritas palsu. Ia tidak suka dikritik dan mudah curiga terhadap orang lain yang lebih cerdas atau kompeten darinya—termasuk Vira.
Kemampuan
- Manipulasi emosional dan permainan narasi
- Mengatur hierarki kekuasaan berdasarkan ketakutan
- Membentuk citra sebagai “orang yang tahu apa yang harus dilakukan” padahal sebenarnya hanya menghindari tanggung jawab nyata
- Bertahan hidup dengan cara menyelamatkan dirinya lebih dulu, sering kali mengorbankan yang lain
Kutipan Khas
“Selama gue bisa bikin mereka percaya, itu udah cukup. Kebenaran nggak pernah penting di dunia yang udah jungkir balik kayak gini.”
Rudi
Identitas Umum
- Nama Lengkap : Rudi Hartono
- TTL : Jakarta, 10 November 1990
- Usia : 35 tahun
- Pekerjaan : Staff Keuangan
- Role : Mantan rekan kerja Adityo yang oportunistik
Kepribadian
Sebelum krisis, Rudi adalah sosok yang pendiam, pemalu, dan sangat terikat pada aturan. Ia cenderung penakut dan selalu menghindari konflik. Namun, ketika dunia berubah, sisi gelapnya muncul. Ia menjadi agresif, oportunistik, dan tidak ragu untuk memanfaatkan pengetahuannya tentang keuangan perusahaan untuk menimbun sumber daya. Ia bahkan tega mengkhianati rekan kerjanya demi keuntungan pribadi.
Kemampuan
- Pengetahuan mendalam tentang keuangan dan akuntansi.
- Kemampuan manipulasi (setelah krisis).
- Insting bertahan hidup yang kuat (dalam bentuk negatif).
Kutipan Khas
“Aturan cuma buat orang lemah. Yang penting sekarang siapa yang punya barang.”
Dewi
Identitas Umum
- Nama Lengkap : Dewi Permata Sari
- TTL : Bandung, 22 April 1991
- Usia : 34 tahun
- Pekerjaan : Staff Pemasaran
- Role : Mantan rekan kerja Adityo yang awalnya ceria, berubah menjadi manipulatif
Kepribadian
Sebelum krisis, Dewi dikenal sebagai orang yang sangat peduli dengan penampilan dan citra. Ia suka bergosip dan terlibat dalam drama kantor, serta terlihat dangkal dan materialistis. Namun, krisis mengubahnya secara drastis. Ia menjadi sangat pragmatis dan fokus pada bertahan hidup, tetapi dengan cara yang negatif. Ia menggunakan kecerdasannya untuk memanipulasi orang lain, mendapatkan keuntungan, dan menjadi dingin serta tidak peduli pada perasaan orang lain.
Kemampuan
- Keterampilan komunikasi yang baik (sebelum krisis).
- Kemampuan manipulasi dan negosiasi (setelah krisis).
- Insting bertahan hidup yang kuat.
Kutipan Khas
“Maaf, tapi di dunia ini, yang kuat yang menang. Kalau kamu lemah, kamu akan dimanfaatkan.”
Herman
Identitas Umum
- Nama Lengkap : Herman Wijaya
- TTL : Surabaya, 17 Agustus 1986
- Usia : 39 tahun
- Pekerjaan : Staff Logistik
- Role : Mantan rekan kerja Adityo yang humoris dan menjadi sumber kekuatan
Kepribadian
Sebelum krisis, Herman adalah pria yang santai, humoris, dan sering dijadikan tempat curhat oleh rekan kerja. Ia terlihat tidak terlalu serius tentang pekerjaannya. Namun, ketika bencana melanda, ia menunjukkan sisi lain dari dirinya. Ia tetap mempertahankan sifat humorisnya, tetapi juga menjadi sangat serius, terorganisir, dan penuh tanggung jawab. Ia menggunakan pengetahuannya tentang logistik untuk membantu orang lain, mencari solusi kreatif untuk masalah, dan menjadi sumber kekuatan serta harapan bagi kelompoknya.
Kemampuan
- Pengetahuan mendalam tentang logistik dan manajemen persediaan.
- Kemampuan kepemimpinan dan organisasi.
- Kecerdasan emosional dan kemampuan untuk menjaga semangat tim.
Kutipan Khas
“Takut Boleh, tapi jangan sampai hilang harapan. Selama kita bersama, kita pasti bisa melewatinya.”
Timeline
Tahun | Bulan | Tanggal | Waktu | Kejadian | Chapter |
2025 | Maret | 20 | 11.29 | Gravitasi berbalik | 1 |
2025 | Maret | 20 | 09.00 | POV Mira | 1 |
2025 | Maret | 20 | 09.03 | POV Dika | 1 |
2025 | Maret | 20 | 09.00 | POV Adityo | 1 |
2025 | Maret | 20 | 08.00 | POV Raka | 1 |
2025 | Februari | Adityo mulai bekerja sebagai cleaning service | |||
2024 | Adelina naik pangkat menjadi head of marketing | ||||
2022 | Adelina naik pangkat menjadi supervisor marketing | ||||
2021 | Adelina bekerja sebagai staff marketing | ||||
2020 | Januari | Alita lahir | |||
2019 | November | Adityo berhenti kerja | 2 | ||
2019 | Maret | Adelina mengandung Alita | |||
2018 | Pesta Bonus Tim Adityo | 3 | |||
2018 | Adelina berselingkuh dengan Bima | ||||
2016 | Bima bekerja sebagai business developer di tempat kerja Adityo | ||||
2015 | Adityo diangkat menjadi supervisor | ||||
2012 | Adityo bekerja sebagai business developer | ||||
Prolog
20 Maret 2025. Jakarta berdenyut dalam kesibukan pagi yang khas. Deru klakson mobil membelah kemacetan yang mengular, teriakan para pedagang kaki lima bersahutan menawarkan dagangan, dan gedung-gedung pencakar langit menjulang angkuh, seolah menantang batas langit. Di salah satu gedung itu, seorang petugas kebersihan mengayunkan sapu di lobi yang ramai. “Duh, pegelnya banget ni hari,” gumamnya sambil mengusap peluh di dahi. Di lantai yang lebih tinggi, seorang wanita muda sibuk merapikan penampilannya di depan cermin. “Harus kece badai!” pikirnya sambil memulas lipstik merah menyala. Sementara itu, di ruang keuangan, seorang pria muda dengan semangat menghitung tumpukan lembaran uang. “Asik, bonus udah cair!” bisiknya dengan mata berbinar.
Kemudian, segalanya berubah dalam sekejap.
Matahari terbit seperti biasa, memancarkan cahaya hangat ke seluruh kota. Namun, ada yang aneh, perubahan kecil yang merayap tanpa terduga.
Selembar kertas yang jatuh dari meja tidak lagi jatuh ke lantai. Ia melayang naik dengan anggun. “Lah?” petugas kebersihan itu tertegun, menggaruk-garuk kepala dengan bingung. Cangkir kopi yang tumpah tidak membasahi permukaan meja. Cairan cokelat itu melayang-layang di udara, membentuk pusaran aneh. “Ini apaan sih?” wanita muda itu melongo, lipstik yang dipegangnya terlepas dan melayang naik. Pria muda itu membeku, uang yang sedang dihitungnya beterbangan seperti daun-daun kering yang tertiup angin.
“AAAAAA!” Jeritan panik memecah kesunyian sesaat.
Mobil-mobil yang terperangkap dalam kemacetan terangkat dari jalanan, berputar-putar di udara seperti mainan yang dilempar sembarangan. Papan reklame raksasa tercabut paksa dari fondasinya, melayang ke langit seperti layar sobek yang tertiup badai. Orang-orang? Mereka juga ikut terlempar ke udara dengan panik dan kebingungan. Ada yang berteriak histeris, ada yang mencoba meraih apa pun untuk berpegangan, dan ada yang hanya bisa pasrah, terombang-ambing di tengah kekacauan yang tak terduga.
Jakarta hancur dalam hitungan menit yang terasa seperti keabadian.
Gravitasi, hukum alam yang selama ini diandalkan, mengkhianati semua orang dengan cara yang mengerikan.
Bukan lagi menarik segala sesuatu ke bawah, melainkan mendorongnya ke atas. Langit berubah menjadi jurang maut yang tak berujung, menelan segala sesuatu yang ada di bawahnya.
Di tengah kekacauan yang mengerikan dan membingungkan ini, cerita kita dimulai.
“Gravitasi adalah gaya fundamental alam yang menarik semua benda dengan massa atau energi. Gaya ini bertanggung jawab untuk menjaga kita tetap di tanah, membuat planet-planet tetap mengorbit matahari, dan membentuk struktur besar di alam semesta. Tanpa gravitasi, segala sesuatu akan terbang terpisah.”
Chapter 1 : Pagi yang sibuk
Di lobi sebuah gedung perkantoran mewah di kawasan Sudirman, Adityo Prasetya, atau Tyo bagi teman-temannya, mengayunkan sapu dengan gerakan efisien. Seragam oranyenya yang sederhana kontras dengan pakaian mahal para eksekutif yang berlalu lalang. Dulu, Tyo adalah seorang manajer pengembangan bisnis yang sukses di perusahaan health tech yang sedang naik daun. Tapi gelombang PHK dua tahun lalu membuatnya kehilangan segalanya. Sekarang, ia hanya seorang petugas kebersihan di gedung ini. Pekerjaan yang jauh dari impian, namun cukup untuk menyambung hidup. Dan di tempat ini, tidak ada yang tahu tentang masa lalunya.
“Tyo, itu di pojok sana masih kotor! Mata lo di mana sih?”
Suara melengking Pak Bagas, salah satu pegawai kantor, membuat Tyo menghela napas dalam-dalam. Pak Bagas, dengan perut buncit dan wajah masam, selalu mencari-cari kesalahan Tyo. Tyo tahu, Pak Bagas adalah tipe orang yang suka merendahkan orang lain untuk merasa lebih baik.
“Iya, Pak. Maaf,” jawab Tyo dengan suara tenang, meskipun hatinya mendidih. Ia memilih untuk tetap sabar. Ia tahu, meladeni orang seperti Pak Bagas hanya akan membuang-buang energi. “Yang penting Alita bisa makan,” gumamnya dalam hati.
Tyo melanjutkan pekerjaannya, membersihkan meja-meja kopi dan membuang sampah. Sesekali, ia mencuri pandang ke arah jam dinding. Ia ingin segera pulang. Alita, putrinya yang berusia empat tahun, pasti sudah menunggunya dengan senyum cerianya.
“Tyo, bisa tolongin gue nggak?”
Tiba-tiba, seorang petugas kebersihan lain, Pak Joko, menghampiri Tyo dengan wajah memelas.
“Kenapa, Pak?” tanya Tyo.
“Anak gue mau lahir, Tyo. Istri gue udah masuk rumah sakit. Bisa nggak lo gantiin shift malam gue?”
Tyo terdiam sejenak. Shift malam? Itu berarti ia harus bekerja sampai pagi. Ia tidak bisa menemani Alita tidur.
“Tapi, Pak…”
“Please, Tyo. Cuma malam ini aja. Gue janji besok gue gantiin shift lo.”
Tyo menghela napas lagi. Ia tahu bagaimana rasanya menjadi seorang ayah. Ia tidak tega menolak permintaan Pak Joko.
“Yaudah, Pak. Gue gantiin,” jawab Tyo akhirnya.
“Makasih banyak, Tyo! Lo emang baik banget!” Pak Joko menepuk pundak Tyo dengan penuh terima kasih.
Tyo hanya tersenyum tipis. Ia kemudian mengeluarkan ponselnya dan membuka aplikasi Whatsapp. Ia mengirim pesan kepada Istrinya.
Tyo: “Sayang, aku harus gantiin shift malam Pak Joko. Anaknya mau lahir. Aku nggak bisa pulang cepet.”
Beberapa menit berlalu, tetapi Adelina tidak membalas. Tyo mulai merasa khawatir. Biasanya, Istrinya selalu membalas pesannya dengan cepat.
Tiba-tiba, ponsel Tyo berdering. Sebuah pesan masuk dari Istrinya.
Istrinya: “Kamu gantiin shift malam? Kamu serius? Aku juga harus lembur, Tyo! Ada meeting sama klien penting. Baby sitter cuma bisa sampai jam 7 malam! Terus Alita gimana?”
Tyo menghela napas. Ia sudah menduga Istrinya akan marah. Adelina sekarang sangat sibuk dengan karirnya. Penghasilannya jauh lebih besar dari Tyo, dan hal itu sering kali membuat Adelina merasa lebih berkuasa.
Tyo: “Aku juga nggak mau gantiin shift malam, Sayang. Tapi Pak Joko minta tolong banget. Aku nggak tega nolak.”
Istrinya: “Terus aku harus gimana? Kamu tuh selalu mentingin orang lain! Aku juga punya karir yang harus aku urus! Kamu pikir cuma kamu yang capek?”
Tyo: “Aku nggak bilang gitu, Sayang. Aku cuma minta pengertian kamu. Aku juga pengen ada buat Alita.”
Istrinya: “Pengertian? Kamu yang harusnya ngertiin aku! Aku kerja mati-matian buat keluarga ini! Kamu cuma OB! Gajimu nggak seberapa! Aku yang harus banting tulang!”
Tyo: “Aku sayang sama kamu dan Alita, Sayang. Kamu tahu itu. Aku cuma pengen kerja yang bener biar bisa kasih yang terbaik buat kalian.”
Adelina: “Kerja yang bener? Makanya jangan terlalu baik sama orang lain! Inget gara-gara siapa kamu dipecat dulu? Sekarang jadi OB!”
Pesan terakhir Istrinya itu menghantam Tyo seperti petir. Ia terdiam, hatinya terasa seperti ditusuk ribuan jarum. Ia ingin membalas, tetapi ia tahu itu hanya akan memperkeruh suasana.
Tyo mematikan ponselnya dan menghela napas panjang. Ia berusaha menenangkan diri. Ia tahu, ia dan Adelina sama-sama sedang lelah dan frustrasi. Ia berharap, setelah semua ini berakhir, mereka bisa duduk bersama dan membicarakan semuanya dengan baik-baik.
—
Di sebuah gudang kumuh yang tersembunyi di antara hiruk pikuk Pasar Minggu, Raka Bhaskara duduk santai di atas kursi reyot. Asap rokok mengepul dari mulutnya, memenuhi ruangan dengan aroma tembakau yang kuat dan bercampur dengan bau rempah-rempah dari pasar di luar. Beberapa anak buahnya berkeliaran di sekitar, sibuk dengan urusan masing-masing. Hari itu, Raka sedang menunggu Jono, anak buah kepercayaannya, yang seharusnya sudah kembali dengan setoran hasil “kerja” semalam.
“Mana nih si Jono? Lama amat tuh bocah,” gerutu Raka sambil mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja yang penuh puntung rokok.
Tiba-tiba, pintu gudang terbuka dengan kasar. Jono, dengan napas terengah-engah dan wajah pucat pasi, berlari masuk.
“Bos! Gawat! Polisi ngejar kita! Mereka nyariin Bos!” seru Jono panik.
Raka mengerutkan kening. “Polisi?! Bangsat! ngapain lagi tuh mereka?”
“Nggak tau, Bos! Kayaknya mereka mau nangkap Bos! Banyak banget tadi yang ngejar.”
Belum sempat Raka mencerna perkataan Jono, suara derap langkah berat dan teriakan menggema dari luar. Pintu gudang didobrak dengan keras, dan puluhan polisi bersenjata lengkap menyerbu masuk. Suasana gudang yang tadinya remang-remang dan tenang langsung berubah menjadi kacau balau. Anak buah Raka terkejut dan berusaha melawan, tapi kalah jumlah dan senjata.
Raka berdiri dengan sigap, matanya menyipit tajam. Ia mengamati setiap polisi yang masuk, mencari sosok yang familiar. Dan benar saja, di antara kerumunan polisi yang berteriak-teriak itu, ia melihat wajah yang sangat dikenalnya.
Komandan Surya, seorang polisi bertubuh gempal dengan wajah sangar dan seringai licik, berjalan maju. Raka dan Surya punya “hubungan” yang unik dan kotor. Surya sering kali menerima “jatah” dari Raka untuk tutup mata terhadap kegiatan ilegalnya di sekitar Pasar Minggu.
“Sur? Ini apaan maksudnya, bangsat?” tanya Raka dengan suara dingin dan penuh amarah.
Surya tertawa sinis. “Jangan pura-pura bego lah, Ka. Lo pasti tau kenapa kita di sini.”
“Tapi kita udah deal! Gue selalu kasih jatah buat lo tiap bulan!”
“Deal? Itu dulu. Sekarang beda.”
“Beda apanya, anjing?”
“Bos gue bilang, kita harus bersih-bersih. Nggak ada lagi kompromi sama preman kayak lo.”
Raka mendengus kasar. “Alah, bullshit! Gue tau lo pasti ada maunya. Berapa yang lo?”
Surya menyeringai lebar. “Udah tajir lo ya? Dua kali lipat, atau penjara.”
Raka mengepalkan tangannya kuat-kuat. Ia merasa dikhianati dan dipermainkan. Surya, orang yang selama ini ia percaya (walaupun dengan jijik), ternyata hanya seorang oportunis busuk yang memanfaatkan kekuasaannya untuk keuntungan pribadi.
“Lo udah kelewatan ya, Sur. Gue nggak suka diperes kayak gini,” kata Raka dengan suara mengancam, matanya merah padam.
“Mau ngelawan? Silakan aja. Tapi inget, gue bawa banyak anak buah. Gue nggak takut buat nembak kepala lo di sini.”
Situasi semakin tegang dan panas. Raka dan Surya saling bertatapan dengan penuh amarah dan kebencian. Anak buah Raka yang tersisa bersiap untuk bertarung mati-matian, sementara polisi mengarahkan senjata mereka, siap menembak.
—
Dika Sahardika berdiri di depan kelas dengan jantung berdebar kencang. Di tangannya, ia memegang pointer laser, siap untuk mempresentasikan karya ilmiahnya tentang robotika. Keringat dingin membasahi telapak tangannya, meskipun AC di kelas berhembus cukup kencang.
“Selamat pagi, Bapak/Ibu guru dan teman-teman,” sapa Dika dengan suara sedikit bergetar. “Hari ini, saya akan mempresentasikan robot line follower yang saya rancang sendiri.”
Dika mulai menjelaskan cara kerja robotnya, lengkap dengan istilah-istilah teknis yang mungkin hanya dimengerti oleh sebagian kecil orang di kelas itu. Beberapa teman sekelasnya tampak menguap bosan, sementara yang lain sibuk berbisik-bisik. Namun, Dika tidak peduli. Ia terlalu asyik dengan dunianya sendiri, dunia yang penuh dengan rangkaian listrik, kode program, dan inovasi teknologi.
Presentasi Dika berjalan lancar, meskipun ada beberapa pertanyaan menjebak dari Pak Bandi, guru Fisika yang terkenal galak. Dika berhasil menjawab semua pertanyaan dengan baik, membuat Pak Bandi terdiam dan mengangguk-angguk.
Bel tanda istirahat akhirnya berbunyi, membebaskan Dika dari tatapan-tatapan aneh teman sekelasnya. Ia menghela napas lega dan membereskan barang-barangnya.
“Dika,”
Sebuah suara berat dan serak memanggil Dika dari pintu kelas. Dika menoleh dan melihat seorang siswa berbadan besar dengan tato memenuhi lengannya sedang berdiri di sana. Itu adalah Reno, salah satu anak buah Bayu, pentolan sekolah yang terkenal suka membuat onar.
“Ada apa, ya?” tanya Dika dengan suara gugup.
“Bayu mau ketemu lo sekarang,” jawab Reno singkat.
Dika menelan ludah. Ia tahu betul siapa Bayu. Bayu adalah siswa kelas 11 yang ditakuti oleh hampir semua siswa di sekolah itu. Ia sering memalak, membully, dan membuat masalah.
“Tapi saya mau makan dulu,” elak Dika.
“Nggak ada tapi-tapian. Bayu udah nungguin,” kata Reno sambil menarik tangan Dika dengan kasar.
Dika pasrah dan mengikuti Reno keluar kelas. Mereka berjalan menuju belakang sekolah, tempat Bayu dan gengnya biasa nongkrong.
Di sana, Dika melihat Bayu sedang duduk santai di atas motornya yang kinclong. Wajahnya sangar dan penuh tato, membuat Dika semakin ketakutan.
“Sini lo,” panggil Bayu dengan suara dingin.
Dika berjalan mendekat dengan langkah gemetar.
“Ini apa?” tanya Bayu sambil menyodorkan ponselnya ke wajah Dika.
Di layar ponsel itu, Dika melihat sebuah video singkat yang menampilkan seorang gadis sedang menari. Gadis itu cantik, dengan rambut panjang dan senyum manis. Dika merasa familiar dengan wajah gadis itu, tapi ia tidak yakin di mana pernah melihatnya.
“Itu… video biasa,” jawab Dika dengan suara kecil.
“Biasa apanya? Coba lo perhatiin baik-baik,” kata Bayu sambil memperbesar video itu.
Dika terkejut. Ia baru menyadari bahwa gadis di video itu adalah Rara, siswi kelas sebelah yang diam-diam ia taksir. Jantung Dika berdegup semakin kencang.
“Gue mau lo edit video ini,” kata Bayu dengan seringai jahat. “Bikin seolah-olah dia lagi telanjang.”
Dika terbelalak. “Apa? Saya nggak bisa!”
“Nggak bisa? Atau nggak mau?” ancam Bayu sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Dika.
Dika terdiam. Ia berada dalam dilema yang sulit. Jika ia menolak permintaan Bayu, ia tahu bahwa ia akan menjadi bulan-bulanan Bayu dan gengnya. Ia akan dipukul, ditendang, dan dipermalukan di depan seluruh sekolah.
Namun, jika ia menuruti permintaan Bayu, ia akan melakukan sesuatu yang sangat buruk kepada gadis yang ia suka. Ia akan membuat Rara terlihat telanjang, menyebarkan video itu ke seluruh sekolah, dan menghancurkan reputasinya.
Dika tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Ia merasa terjebak di antara dua pilihan yang sama-sama mengerikan.
—
Pukul 9 pagi, Mira Anggraeni baru aja kelar bantuin lahiran yang panjang dan bikin pegel linu. Dia ngelap keringet di jidat, ngerasa energinya udah abis semua. Shift malam ini bener-bener kayak nggak ada abisnya, dan dia udah kangen banget sama kasur.
“Akhirnya kelar juga,” gumam Mira sambil ngegerakin badan yang kaku.
Tapi, belum juga dia sempet narik napas lega, Rina, temen sejawatnya, nyamperin dia dengan muka panik.
“Mir, tolong! Pasien kamar 3 tiba-tiba pendarahan parah. Kita butuh bantuan!” seru Rina.
Mira ngehela napas berat. “Ya ampun, kenapa lagi sih ini?” omelnya dalam hati. Walaupun capek, jiwa bidannya langsung on. Dia buru-buru ke kamar 3, diikutin Rina.
Di dalem kamar, situasinya emang darurat. Pasiennya pucet banget dan lemes, darahnya terus ngucur. Mira langsung ambil alih, ngasih instruksi ke perawat lain dan ngelakuin tindakan medis yang dibutuhin.
Setelah beberapa saat, keadaan pasiennya mulai stabil, dan Mira bisa sedikit tenang. Tapi, rasa capek dan tekanan yang dia rasain bikin dia gampang emosi.
“Kenapa sih pagi ini ribet banget? Aku tuh pengen istirahat tau!” gerutu Mira sambil ngusap mukanya kasar.
Tiba-tiba, lampu di ruangan itu redup, dan musik lembut mulai kedengeran. Mira ngerutin kening, bingung sama apa yang lagi terjadi.
Terus, pintu ruangan kebuka lebar, dan Rangga, tunangannya, masuk sambil senyum lebar banget. Dia pake jas rapi dan bawa buket bunga mawar putih yang cantik banget. Di belakangnya, semua temen-temen Mira sama beberapa rekan kerja pada berdiri sambil tepuk tangan.
Mira kaget dan terharu banget. Dia nggak nyangka bakal dapet kejutan kayak gini di tengah kesibukannya.
Rangga jalan ngedeketin Mira, berlutut di depannya, dan ngeluarin kotak kecil dari sakunya.
“Mira Anggraeni, di tengah kesibukan kamu yang luar biasa ini, di tengah capeknya kamu bantu bayi-bayi lahir ke dunia, maukah kamu ngeluangin sedikit aja waktu kamu buat aku? Maukah kamu nikah sama aku?” tanya Rangga dengan suara lembut dan penuh cinta.
Air mata bahagia mulai ngalir di pipi Mira. Semua rasa kesel dan capeknya langsung ilang. Dia ngangguk dengan terharu dan bilang, “Ya, aku mau, Rangga! Aku mau banget!”
Semua orang langsung bersorak gembira dan ngasih selamat ke mereka. Mira ngerasa seneng dan terharu banget. Hari itu, di tengah rutinitas kerjanya yang bikin capek, dia dapet kejutan paling indah dalam hidupnya.
—
Tyo menyeka keringat di wajahnya dengan kasar. Ia baru saja keluar dari kamar mandi kecil di dekat tangga darurat. Pertengkaran dengan istrinya masih mengusik pikirannya. Ia tidak ingin rekan kerjanya melihat betapa kacau perasaannya.
“Tyo! Sini kamu!” Suara melengking Pak Bagas memanggil dari ujung lorong. Tyo menghela napas dalam-dalam. Pak Bagas, sang supervisor menyebalkan, selalu punya cara untuk membuatnya kesal.
“Iya, Pak?” jawab Tyo sopan, berusaha menyembunyikan rasa jengkelnya.
“Itu, ruang kerja lantai 5 lampunya ada yang mati. Kamu ganti sekarang!” perintah Pak Bagas dengan kasar, tanpa basa-basi.
Tyo menghela napas lagi, kali ini lebih panjang. “Baik, Pak.” Ia mengambil tangga lipat dari gudang dan membawanya ke lantai 5. Sambil menaiki tangga, Tyo mendengar suara televisi dari ruang tunggu.
“…seluruh warga dihimbau untuk tetap waspada. Pantauan cuaca hari ini menunjukkan adanya anomali langit yang cukup mencurigakan…”
Tyo tidak terlalu menghiraukan berita itu. Di tengah kesibukannya bekerja, ia lebih fokus pada pekerjaannya. Namun, beberapa celetukan pegawai lain terdengar olehnya.
“Gila, belum puas pemerintah begoin rakyatnya ya, Korupsi udah banyak, sekarang pembodohan pake anomali langit segala,” kata seorang pegawai sambil menggelengkan kepalanya.
Tyo hanya bisa menghela napas dalam hati. Ia sudah terbiasa dengan komentar-komentar sinis seperti itu.
Saat Tyo sedang mengganti bohlam, tiba-tiba terjadi percikan listrik.
Krrrccck!
Lampu-lampu di ruangan itu berkedip-kedip, dan daya listrik sempat turun sesaat. Tyo terkejut dan hampir kehilangan keseimbangan. Beberapa karyawan mengeluh karena komputer mereka mati dan file yang belum disimpan hilang.
“Woi, Tyo! Lo yang bikin konslet ya?” teriak seorang karyawan dengan kesal.
Tyo hanya bisa menggelengkan kepala. “Bukan, Pak. Ini kayaknya masalah listrik gedung.”
Baduum!!
Tiba-tiba, terjadi hentakan sesaat. Semua orang berhenti dari aktivitas masing-masing. Beberapa ada yang berteriak, mengira itu gempa bumi. Tyo, yang masih berada di atas tangga, mencoba melihat keluar jendela. Suara klakson kendaraan di jalanan terdengar sangat ramai, tidak seperti biasanya.
“Ada apaan sih?” gumam Tyo penasaran.
Karyawan yang tadi berteriak padanya mendekat ke jendela, ingin tahu apa yang dilihat Tyo.
Tiiiiiiiiiiiinnn!
Tiba-tiba, pemandangan aneh terjadi di depan mata mereka. Sebuah motor terlempar ke langit, seperti dilontarkan oleh kekuatan yang tak terlihat. Beberapa karyawan berteriak histeris.
“Toloooooooooongggg…..!!”
Tak lama kemudian, sesosok manusia ikut terlempar ke udara.
Bukannya ketakutan, sebagian besar karyawan justru berhamburan ke jendela, mengeluarkan ponsel mereka untuk merekam kejadian aneh itu dan mempostingnya di media sosial. “Gila! Ini beneran?” seru seorang karyawan dengan mata terbelalak.
Baduuumm!!
Hentakan keras kedua kalinya terjadi, membuat kepanikan semakin menjadi-jadi. Beberapa karyawan berlarian menjauhi jendela, sementara yang lain tetap terpaku, merekam kejadian aneh di luar. Sebuah ponsel terlepas dari tangan seorang karyawan dan melayang ke arah jendela, tapi bukannya jatuh ke bawah, ponsel itu malah melayang ke atas.
“E,e,eeh..?” gumam seorang karyawan dengan bingung.
Beberapa karyawan mulai melihat ke belakang, ke arah meja kerja mereka. Kertas-kertas dan barang-barang ringan lainnya mulai berterbangan di udara.
“Semuanya, awas!” teriak Tyo tiba-tiba, menyadari bahaya yang akan datang. “Itu ada mobil terbang ke sini!”
Praaaangg!
Namun, teriakan Tyo terlambat. Mobil yang melayang itu menabrak jendela gedung dengan keras, memecahkan kaca dan mengirimkan pecahan-pecahan ke dalam ruangan.
“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!”
Karyawan-karyawan berteriak histeris, berusaha melindungi diri dari pecahan kaca. Tyo sendiri terlempar ke belakang akibat benturan itu.
Namun, bukannya jatuh ke lantai, Tyo justru melayang di udara. Karyawan-karyawan yang melihatnya terkejut dan semakin panik.
Di tengah kebingungan dan ketakutan itu, pemandangan yang lebih mengerikan terjadi di luar jendela. Semakin banyak manusia dan benda-benda yang tidak terikat dengan tanah terlempar ke langit. Teriakan minta tolong dan suara tabrakan terdengar di mana-mana.
Baduuuum!!
Hentakan ketiga mengguncang gedung dengan kekuatan yang tak terbayangkan sebelumnya. Getaran merambat melalui setiap tulang dan sendi, membuat karyawan yang tadi masih mencoba merekam dengan ponsel mereka terlempar dari keseimbangan. Jeritan yang semula panik berubah menjadi raungan histeris, bercampur dengan suara barang-barang berjatuhan.
Dalam sepersekian detik, gravitasi mengkhianati semua orang. Arahnya berbalik sepenuhnya.
Karyawan-karyawan yang tadi tengkurap di lantai, berusaha melindungi diri dari hujan pecahan kaca, kini terangkat paksa ke atas. Tubuh mereka menghantam langit-langit ruangan dengan keras, beberapa di antaranya sampai terpental kembali ke bawah sebelum akhirnya kembali tertarik ke atas. Suara tulang berderak dan benturan keras menggema di ruangan itu, menciptakan simfoni mengerikan dari kesakitan dan kehancuran.
Meja-meja kantor yang berat terangkat dan terbanting ke langit-langit, menghancurkan lampu-lampu dan panel-panel langit-langit. Kursi-kursi berputar di udara seperti proyektil, menghantam karyawan yang terlempar ke atas dengan kekuatan yang mematikan. Komputer-komputer dan monitor-monitor berjatuhan dari meja, kabel-kabelnya menjuntai seperti tentakel, sebelum akhirnya ikut tertarik ke atas, menghantam langit-langit dengan bunyi gedebuk yang mengerikan. Alat-alat tulis, dokumen-dokumen, dan barang-barang kecil lainnya beterbangan di ruangan itu, menciptakan pusaran maut dari benda-benda yang melayang dan menghantam.
Jeritan kesakitan semakin menjadi-jadi saat karyawan-karyawan yang terlempar ke atas tertimpa oleh meja, kursi, dan benda-benda lain yang berjatuhan. Beberapa dari mereka langsung tidak bergerak setelah tertimpa, tubuh mereka remuk di bawah beban benda-benda berat. Yang lain meronta-ronta kesakitan, darah mengalir dari luka-luka di kepala dan tubuh mereka.
Tyo sendiri, yang masih melayang di udara dengan bingung, tiba-tiba merasakan hantaman keras di punggungnya. Tangga lipat yang tadi ia gunakan untuk mengganti lampu ikut terangkat dan menghantamnya dengan kekuatan penuh, membuatnya kehilangan napas. Rasa sakit yang luar biasa menjalar di sekujur tubuhnya, dan ia merasa seolah-olah setiap tulangnya remuk.
Namun, kengerian tidak berhenti sampai di situ. Langit-langit ruangan, yang tidak dirancang untuk menahan beban dari bawah, mulai jebol di beberapa tempat. Potongan-potongan plafon berjatuhan seperti hujan puing, diikuti oleh tubuh-tubuh karyawan yang terlempar ke lantai atas gedung dengan kondisi yang mengenaskan.
Pemandangan di lantai atas gedung bahkan lebih mengerikan. Darah berceceran di mana-mana, membentuk genangan-genangan merah di lantai. Tubuh-tubuh karyawan tergeletak dalam posisi yang aneh dan mengerikan, beberapa di antaranya hancur tak bisa dikenali. Kepala pecah, mengeluarkan isi kepala yang berwarna merah dan abu-abu. Tangan dan kaki terjepit di antara reruntuhan meja dan kursi, tulang-tulangnya patah dan bengkok. Leher patah, kepala terkulai dalam sudut yang tidak wajar. Badan remuk, tulang-tulang rusuk menusuk keluar dari kulit.
Di luar gedung, kekacauan yang lebih besar terjadi. Fondasi beberapa gedung yang tidak kuat tidak mampu menahan gaya gravitasi yang terbalik, menyebabkan gedung-gedung itu terlepas dari tanah dan melayang ke udara seperti balon raksasa. Gedung-gedung lain runtuh sebagian, bagian-bagiannya patah dan terlepas seperti bongkahan raksasa yang melayang ke langit. Jalanan di bawah terlihat kosong, dengan mobil-mobil dan kendaraan lain beterbangan di udara seperti mainan yang dilempar sembarangan. Reruntuhan dari gedung-gedung yang runtuh ikut melayang ke langit, menciptakan pemandangan kacau dari benda-benda yang terlempar ke atas.
Pemandangan yang terjadi saat itu adalah pemandangan kiamat yang mengerikan, tanpa memandang ras, agama, umur, maupun jenis kelamin. Semua orang sama-sama menjadi korban dari bencana yang tak terduga dan mengerikan ini, terjebak dalam pusaran maut yang diciptakan oleh gravitasi yang mengkhianati mereka.
Chapter 2 : Jatuh ke Atas
Bukan apartemen mewah, melainkan sebuah rumah sederhana tipe 21 yang terasa semakin sempit, luas tanahnya 70m² dengan bangunan 50m², kini menjadi saksi bisu. Adityo berdiri terpaku di ambang pintu kamar tidur, melihat punggung istrinya yang bergetar. Tangisannya pelan, terisak-isak, memecah kesunyian rumah mungil mereka yang terasa begitu menyesakkan. Di atas meja makan yang tidak seberapa besar, tergeletak sebuah surat. Surat PHK. Kertas putih itu kini terasa seperti vonis mati bagi masa depan yang mereka impikan.
Istrinya mengusap air mata dengan kasar, lalu menoleh. Matanya merah dan bengkak, menunjukkan bahwa ia sudah menangis lama, tenggelam dalam depresi yang mendalam. Kesedihan mendalam terpancar jelas dari sorot matanya yang biasanya hangat, kini dipenuhi keputusasaan. Ia menatap Adityo, namun kata-kata tak sanggup keluar, hanya isakan-isakan kecil yang lolos dari bibirnya. Ekspresi frustrasi dan beban yang menumpuk di wajahnya sudah cukup menjelaskan segalanya.
Adityo mencoba mendekat, tangannya terulur. “Sayang, aku—”
“Jangan sentuh aku!” bentak istrinya, mundur selangkah. Ia kembali mengusap air matanya, berusaha meredakan emosi, namun ketakutan akan masa depan tetap menggerogoti. “Sekarang lagi susah cari kerja, pandemi ini! Orang-orang pada di-PHK massal, Adit! Kamu mau kita makan apa nanti?!”
Setiap kata istrinya menohok tepat ke ulu hati Adityo. Dia tahu, ini bukan hanya soal pemecatan. Ini adalah akumulasi dari kekhawatiran yang memuncak. Kekhawatiran tentang karirnya yang stagnan selama tujuh tahun, tentang biaya persalinan yang tak seberapa dari tabungan mereka yang tipis—apalagi dengan istrinya yang tidak bekerja—dan kini ditambah lagi momok pandemi COVID-19 yang membuat segalanya terasa semakin tidak pasti. Rumah kecil ini, yang seharusnya menjadi tempat berlindung, kini terasa seperti sangkar yang menjebak mereka dalam masalah.
“Kita harus sabar sayang, namanya cobaan,” ucap Adityo, suaranya mencoba menenangkan, namun terdengar begitu rapuh, bahkan di telinganya sendiri.
Kalimat itu. Kalimat sederhana itu. Bagi istrinya yang ambisius, rasional, dan terorganisir, itu bukan jawaban. Itu bukan solusi. Itu adalah pengakuan ketidakberdayaan. Itu adalah kalimat tanpa tanggung jawab yang melukai harga dirinya. Kemarahan yang tadinya tertahan di balik tangisnya, kini meledak.
“Sabar?! Cobaan?!” Istrinya berteriak, air matanya kini bercampur amarah yang meluap-luap. “Kamu pikir ini cuma cobaan, Adit?! Tujuh tahun kamu di sana, cuma jadi supervisor! Sekarang malah dipecat! Ini masa depan anak kita! Di rumah sekecil ini, kamu cuma bisa bilang sabar?! Kamu nggak punya solusi apa-apa selain sabar?! Apa itu jawaban seorang kepala keluarga?!” Tangannya mengepal, gemetar. “Demi siapa kamu mengorbankan dirimu sampai seperti ini? Demi siapa?!”
Adityo menatapnya, pandangannya kosong. Air muka istrinya tak pernah semarah ini. Ia tahu ini bukan saatnya untuk membela diri, namun rasa sakit hati dan terpojok membuatnya mengucapkan kalimat yang keliru. “Aku tahu aku gagal, tapi… aku selalu melakukan yang terbaik untukmu dan anak kita.”
Kata-kata itu, alih-alih meredakan, justru bagai bensin menyiram api. Mata istrinya membelalak, amarahnya mencapai puncaknya. Ia melihat sebuah ponsel tergeletak di meja makan. Tanpa berpikir, tangannya menyambar benda itu dan dengan sekuat tenaga, ia melemparkannya.
BUK!
Sesuatu menghantam kepala Adityo. Pandangannya langsung gelap. Rasa sakit menusuk, dan semua suara lenyap.
Benturan di kepala Adityo datang tak terduga, secepat kilat. Seluruh pandangannya berputar, kegelapan menelannya, dan dia pingsan. Namun, sesaat kemudian, entah berapa detik atau menit berlalu, Adityo tersentak, kelopak matanya terbuka paksa. Rasa sakit di kepalanya berdenyut-denyut hebat seperti dihantam benda tumpul yang keras. Punggungnya menjerit nyeri akibat hantaman tangga lipat yang kini menimpa tubuhnya, terasa aneh, tidak seberat seharusnya. Ia menyadari. Bukan, bukan ponsel istrinya yang menghantam. Itu adalah bagian dari kenangan pahit yang tak pernah benar-benar pergi. Tapi benturan ini, yang membuatnya pingsan dan terkapar di tengah bencana, adalah nyata.
Ia mencoba bangkit, namun tubuhnya terasa aneh. Ia terkapar di atas plafon yang kini menjadi pijakan yang penuh dengan debu dan pecahan gypsum—sebuah lantai yang asing dan bergetar. Tangga lipat itu menindihnya, terasa berat, tetapi tidak seberat biasanya. Ada sesuatu yang fundamental telah berubah. Ia mencoba mendorong tangga itu. Tangan dan kakinya terasa aneh saat menyentuh permukaan. Kakinya seperti ingin melayang. Kebingungan meliputi dirinya. Apa ini? Mimpi buruk? Efek dari benturan di kepala?
Di sekelilingnya, hiruk pikuk Jakarta yang baru saja diwarnai suara-suara rekaman ponsel dan obrolan kantor, kini telah berubah menjadi simfoni horor. Suara jeritan, rintihan, dan dentuman tak henti-hentinya. Karyawan-karyawan yang tadi masih sibuk merekam, kini berteriak histeris, terlempar ke arah langit-langit yang kini menjadi lantai, beberapa terhempas ke sana sini, yang lain menabrak dinding dan jatuh kembali, namun bukan ke lantai bawah, melainkan ke arah yang sama, lalu kembali terlempar. Meja-meja, kursi-kursi, bahkan komputer, semua berbalik arah, melayang dan berbenturan di udara, menghantam apa saja yang ada di jalannya, kemudian menimpa siapa saja yang tak sempat menghindar. Darah mulai membasahi lantai atas yang kini terbuka, membentuk genangan-genangan merah di antara puing-puing. Tubuh-tubuh hancur tak bisa dikenali: kepala pecah, mengeluarkan isi kepala yang berwarna merah dan abu-abu; tangan dan kaki terjepit di antara reruntuhan, tulang-tulangnya patah dan bengkok; leher patah, kepala terkulai dalam sudut yang tidak wajar; badan remuk, tulang-tulang rusuk menusuk keluar dari kulit. Pemandangan itu adalah kiamat, tanpa memandang ras, agama, umur, maupun jenis kelamin. Semua orang sama-sama menjadi korban.
Adityo mencoba merangkak. Setiap gerakannya terasa canggung, tubuhnya ingin melayang setiap kali ia mencoba mengangkat bobotnya. Ia melihat ke atas, ke arah yang dulu adalah “bawah”, ke arah jalan raya yang sekarang ada di atas kepalanya, terbalik. Otaknya berputar keras, berusaha memproses apa yang sedang terjadi. Mengapa mobil-mobil terlihat seperti titik-titik kecil yang terbang di kejauhan? Mengapa gedung-gedung lain di seberang sana terlihat seperti bongkahan raksasa yang melayang?
Ini tidak masuk akal. Semua terbalik. Semua. Tapi kenapa?
Ketersesatan dan ketakutan menyelimuti Adityo. Apa yang harus dia lakukan? Bagaimana dia bisa bergerak di kondisi ini? Matanya terpaku pada sebatang pipa air yang menembus plafon, kini menjadi semacam pegangan yang kokoh. Ia mengulurkan tangan, meraihnya. Rasa dingin logam itu sedikit menenangkan, memberikan titik fokus di tengah kekacauan visual dan sensorik.
Dengan napas terengah-engah, merasakan darah merembes dari luka di kepalanya, Adityo memaksa otaknya bekerja. Dia mendorong tangga yang menindihnya hingga tergeletak di samping. Bobotnya terasa berbeda. Kaki-kakinya terasa menempel kuat pada plafon yang sekarang adalah lantainya. Dia mencoba mendorong dirinya menjauh dari tiang. Tubuhnya bergerak, tapi arahnya terasa aneh.
Lalu, sebuah pemahaman intuitif yang mengejutkan menghantamnya, sejelas kilat di tengah badai. Bukan dia yang pingsan dan melayang. Bukan. Gravitasi yang telah berubah.
Langit adalah bawah, tanah adalah atas.
Pikiran itu menggema di benaknya. Gravitasi telah berbalik. Seluruh dunia. Itu bukan hanya di dalam gedung ini. Itu adalah hukum baru. Kengerian baru ini menyelimuti dirinya. Jika seluruh dunia seperti ini, bagaimana dengan Alita? Apakah dia juga… terbalik?
Melalui celah di dinding yang pecah, ia melihat pemandangan yang tak pernah bisa ia bayangkan. Jalanan di bawah (yang kini di atasnya) kosong. Mobil-mobil mewah dan angkutan umum beterbangan di udara seperti mainan yang terlepas dari tangan anak kecil, menghantam gedung-gedung lain yang juga terlepas atau runtuh sebagian. Beberapa di antaranya berbenturan di angkasa, meledak menjadi bola api sunyi. Gedung-gedung pencakar langit yang tadinya berdiri gagah, kini terlepas dari fondasinya, melayang dan berputar pelan, beberapa di antaranya mulai retak dan runtuh, memuntahkan puing-puing ke arah langit yang kini menjadi “dasar”. Suara gemuruh atmosfer yang terkoyak semakin jelas terdengar, seperti auman binatang raksasa yang terluka, menembus kekosongan kota Jakarta.
Realitas pahit itu menusuknya. Ini bukan bencana lokal. Ini adalah bencana global.
“Alita…” lirih Adityo, matanya berkaca-kaca. Realitas pahit itu menusuknya. Ini bukan bencana lokal. Ini adalah bencana global. Putrinya. Di mana pun dia berada, pasti menghadapi kengerian yang sama. Sumpah untuk melindungi Alita kembali menguat, mendesak, menuntutnya untuk bergerak. Ia harus menemukan Alita. Sekarang.
Namun, saat ia mencoba bangkit sepenuhnya dari plafon lantai 5 yang kini menjadi lantai, matanya menyapu sekeliling. Pemandangan di lantai itu adalah neraka. Tubuh-tubuh karyawan tergeletak dalam posisi yang aneh dan mengerikan, beberapa di antaranya hancur tak bisa dikenali. Darah berceceran di mana-mana. Ada yang sudah jelas meninggal, tubuhnya remuk tertimpa reruntuhan.
Adityo mengabaikan rasa sakit di kepalanya. Naluri pertamanya, yang selalu mengutamakan orang lain—naluri yang dulu membuatnya kehilangan pekerjaan dan memicu kemarahan istrinya—kini mengambil alih. Ia tidak bisa pergi begitu saja. Ia harus memastikan siapa yang masih bisa diselamatkan.
Ia merangkak dari satu tubuh ke tubuh lain, memeriksa denyut nadi, mencari tanda-tanda kehidupan. Beberapa ia temukan sudah tak bernyawa, pandangan mata kosong menatap ke langit-langit yang kini menjadi jurang. Ia melihat Staff Sales, Hendra, terkapar dengan kepala pecah—sudah tidak tertolong. Di dekatnya, Manajer Sales, Ibu Rina, terhimpit meja kantor, rintihannya pelan namun jelas.
“Bu Rina! Ibu bisa dengar saya?” Adityo merangkak mendekat, mencoba menggeser meja yang menindihnya. Kekuatan gravitasi yang terbalik membuat meja itu terasa lebih ringan, namun tetap sulit digeser sendiri.
“Adit… tolong…” rintih Ibu Rina, wajahnya pucat pasi, darah mengalir dari luka di kakinya.
Tak jauh dari sana, Adityo melihat sosok lain yang mencoba bangkit, berpegangan pada tiang yang kokoh. Itu Arfan, Staff Distribusi. Wajahnya pucat pasi, matanya membelalak ketakutan, namun ia berusaha keras untuk terlihat tenang dan menguasai diri. Ia berpegangan pada tiang yang kokoh, mencoba menstabilkan napasnya.
“Adit! Syukurlah lo selamat!” seru Arfan, suaranya sedikit bergetar, namun ia mencoba memaksakan nada lega. “Gila, ini apaan sih?!”
Adityo tidak menjawab, hanya menatap Arfan dengan pandangan tajam, lantas menggeser pandangannya ke meja yang menimpa Ibu Rina. “Bantu gue dorong meja ini!”
Arfan ragu sejenak, melirik ke arah Ibu Rina yang terluka, lalu ke arah Adityo. Ada perhitungan cepat di matanya, namun ia akhirnya bergerak. Bersama Adityo, mereka berhasil menggeser meja itu, membebaskan Ibu Rina.
“Kita harus cari pertolongan,” kata Adityo, mengamati luka Ibu Rina. “Ada yang lebih parah dari ini.”
Kemudian, matanya menangkap sosok lain yang terkapar di dekat pintu darurat. Itu Pak Bagas, Supervisor Adityo yang selalu menyebalkan. Ia tergeletak, wajahnya membiru, namun masih bernapas. Adityo bergegas mendekat, mengabaikan semua perlakuan buruk yang pernah ia terima.
“Pak Bagas! Pak Bagas!” Adityo menepuk pipinya pelan. Pak Bagas mengerang, matanya sedikit terbuka, menatap Adityo dengan pandangan kosong.
Setelah memastikan Pak Bagas masih hidup, Adityo kembali ke Ibu Rina dan Arfan. “Kita nggak bisa di sini terus. Banyak yang terluka, dan kita butuh obat-obatan.” Adityo menatap Arfan, lalu ke arah lubang besar di “lantai” yang dulunya adalah plafon lobi. “Kita harus naik ke lantai dasar. Mungkin ada kotak P3K, atau setidaknya kita bisa cari jalan keluar yang lebih aman.”
Arfan mengernyitkan dahi. “Naik ke lantai dasar?”
Adityo mengangguk, sorot matanya tajam dan serius. “Iya, Fan. Gravitasi sudah berbalik. Langit jadi bawah, tanah jadi atas. Kita sekarang ada di lantai lima. Supaya ke jalanan di bawah, kita harus naik.”
Tekad untuk menemukan Alita membakar setiap sel tubuh Adityo, mendesaknya untuk segera pergi. Namun, di saat yang sama, jeritan kesakitan dan wajah-wajah putus asa di sekelilingnya seperti rantai yang mengikatnya. Ada bagian dari dirinya yang berteriak untuk egois, untuk langsung pergi mencari putrinya yang mungkin dalam bahaya. Tapi hati Adityo yang selalu mendahulukan orang lain, naluri itu, tak bisa membiarkannya. Menolong orang-orang ini terasa seperti kewajiban yang tak terhindarkan, sebuah langkah pertama yang harus ia lakukan, bahkan jika itu berarti menunda misi terpenting dalam hidupnya. Keputusan itu terasa berat, menjadi beban pikiran yang mendalam, sebuah pertarungan batin antara prioritas personal dan kemanusiaan yang tak terhindarkan di tengah kiamat yang baru.
Adityo menatap Arfan, yang masih terlihat syok namun berusaha menutupi ketakutannya. “Fan, kita harus cari lagi siapa yang masih hidup. Kita nggak bisa biarin mereka gitu aja.”
Arfan mengangguk kaku, matanya masih memindai kekacauan di sekitar mereka. Kaki-kakinya terasa berat, seolah baru menyadari bahwa pijakan mereka kini adalah plafon. Bersama Adityo, mereka mulai merangkak lebih jauh ke dalam area kantor lantai lima. Pemandangan di sana tak kalah mengerikan. Beberapa tubuh tergantung di rangka plafon yang hancur, terpelintir dalam posisi tak wajar. Aroma amis darah dan bau terbakar mulai menyengat hidung.
Arfan, yang selama ini mencoba tegar, akhirnya ambruk. Setelah melihat seorang rekan kerja dengan sebagian besar wajahnya hancur, ia membalikkan badan dan muntah hebat di atas pecahan gypsum. Tubuhnya gemetar tak terkendali.
“Gue… gue nggak sanggup, Dit,” gumam Arfan, suaranya tercekat.
Adityo menepuk bahu Arfan. “Kita harus tolongin mereka, Fan.” Ia sendiri harus menelan ludah, memaksakan dirinya untuk tetap fokus. Ia tahu, rasa jijik dan takut bisa melumpuhkan siapa saja.
Setelah beberapa saat, Adityo kembali mengajak Arfan. “Oke, kita butuh alat. Apa aja yang bisa buat kita gerak aman.” Matanya mencari-cari di antara puing-puing. “Tali, kabel, apa aja. Kita juga butuh senter, siapa tahu ada di laci.”
Arfan mengangguk pelan, berusaha menguasai mualnya. Mereka berdua mulai mencari, menggerakkan sisa-sisa lemari dan meja yang kini tergeletak terbalik. Mereka menemukan beberapa gulungan kabel LAN yang masih utuh, sebuah senter darurat di laci salah satu meja, dan beberapa kain bersih yang bisa digunakan sebagai perban.
Dengan perbekalan seadanya, Adityo dan Arfan bergerak ke tepi ruangan, menuju area yang dulunya adalah teras dalam lantai lima. Begitu mereka tiba di sana, sebuah realitas pahit kembali menghantam. Biasanya, dari teras ini, mereka bisa melihat pemandangan lobi utama gedung yang berada jauh di bawah. Namun kini, karena plafon adalah “bawah” dan lantai adalah “atas”, pemandangan itu sepenuhnya berubah. Dinding kaca pembatas yang dulu memisahkan area kantor dari poros lobi yang kosong, kini lenyap dari tempat mereka berpijak. Pembatas lantai itu kini ada di atas mereka, berfungsi sebagai lantai lobi di atas kepala mereka, beberapa meter jauhnya.
Di tempat dinding kaca seharusnya berada, kini hanyalah sebuah lubang raksasa—poros void gedung yang menganga ke atas. Lubang itu langsung menghadap ke lantai dasar, yang kini berada tinggi di atas mereka, jauh di “langit” ruangan. Mereka berdiri di bibir kekosongan itu, memandang ke atas menuju jalanan yang terbalik dan langit yang kini menjadi “dasar”.
Arfan menatap ke atas, mengikuti poros void yang menjulang. Ia melihat lantai-lantai di atas mereka—lantai empat, lantai tiga, dua, satu—semuanya kini tergantung di ‘langit’, semakin dekat ke lantai dasar. “Gila, Dit! Itu lantai dasar… tinggi banget! Gimana caranya naik ke sana? Nggak ada tangga, nggak ada pijakan!” Suara Arfan dipenuhi keputusasaan.
“Kita harus manjat,” jawab Adityo, pandangannya tertuju pembatas lantai.
“Manjat?!” Arfan melotot. “Lo gila?! Kita bisa jatuh, Dit! Jatuh ke atas!”
“Ke bawah,” koreksi Adityo, tanpa ekspresi.
“Ya terserah kemana! ” balas Arfan jengkel.
“Pake tali,” Adityo menjelaskan, menguatkan gulungan kabel di tangannya, lantas membentuk ujungnya menjadi kail kasar. “Kita buat kayak kail Batman, terus kita cantolin ke pembatas lantai di atas, lalu kita panjat.”
“Nggak, nggak mungkin! Itu terlalu riskan! Liat di atas kita..” Arfan menunjuk ke arah atap gedung.
“Bawah,” potong Adityo.
“Iya bawah…!! Itu jurang Dit! Kita bisa mati!!” Arfan semakin kesal dengan koreksi Adityo.
Adityo menatapnya, ekspresi tegas. “Kalo kita nggak gerak, kita juga bisa mati di sini, Fan. Mereka juga butuh pertolongan.”
Arfan mundur selangkah, napasnya tersengal. “Gue… gue nggak bisa, Dit. Pasti ada cara lain. Pasti.” Ia berbalik, matanya liar mencari-cari. “Tangga darurat!” seru Arfan, nadanya penuh harapan yang putus asa. “Kita bisa lewat tangga darurat! Kita bisa ngerangkak naik, Dit! Sampai ke lantai dasar!” Tanpa menunggu jawaban Adityo, Arfan sudah bergerak, berlari menuju lorong tangga darurat, seolah-olah lorong itu adalah satu-satunya jalan keluar dari mimpi buruk ini.
Parkiran underground gedung mendadak menjadi arena neraka. Sedetik sebelumnya, mesin mobil masih mendengung, namun sebuah sentakan hebat yang tak terduga mengguncang segalanya. Gravitasi berbalik. Debu tebal dan serpihan beton dari langit-langit yang kini menjadi “lantai” menghujani mereka. Mobil-mobil, yang baru saja terparkir atau mungkin masih bergerak, terbalik atau terlepas dari pijakannya, melayang dan berbenturan tak terkendali di ruang sempit itu. Di tengah kekacauan yang tiba-tiba dan kegelapan semi-permanen dari lampu darurat yang berkedip, hanya siluet-siluet yang bergerak cepat, bagai bayangan yang menari dalam tarian maut, yang mampu bertahan.
Satu siluet bergerak lincah, menghindar dari kepungan beberapa bayangan lain. Siluet itu adalah Raka. Ia melesat, membalas setiap serangan dengan presisi mematikan. Suara tulang patah, pekikan tertahan, dan dentuman tubuh menghantam mobil-mobil yang kini menempel terbalik di plafon—atau jatuh begitu saja dari “atas” dan menimpa yang lain—memenuhi ruang itu.
“Sialan! Tahan dia, bangsat!” suara berat Komandan Surya menggelegar dari salah satu siluet yang lebih besar. “Jangan sampai lolos, anjing!”
Siluet Raka berputar, menghindar dari pukulan yang mengarah ke kepalanya, lalu membalas dengan tendangan keras yang mendarat tepat di rusuk lawan. Suara Komandan Surya terengah-engah, anak buahnya mulai kewalahan.
“Banyak bacot lo, Surya!” suara Raka yang dingin dan menusuk membalas, seolah ia tak terpengaruh oleh jumlah lawan. Ia melumpuhkan satu lagi anak buah Komandan Surya dengan cekikan cepat, membuat siluet itu ambruk tanpa suara.
“Gue tahu ini bukan urusan polisi! Siapa yang nyuruh lo bawa gue ke sini, hah?!”
Komandan Surya hanya mendengus, mencoba menghindar dari sergapan Raka. “Bukan urusan lo, bajingan!”
“Gue pengen tahu, jing!” desak Raka. Sebuah tinju melayang ke arahnya, namun Raka dengan mudah menangkisnya, lalu mematahkan lengan penyerangnya dengan gerakan memutar yang brutal. Jeritan pilu memenuhi udara. “Siapa dalangnya ?!” Suaranya kini lebih rendah, sarat ancaman yang nyata.
Pertarungan berlanjut brutal. Siluet Raka adalah badai yang tak terhentikan. Ia menggunakan apa saja yang ada di sekitarnya—pecahan besi, pecahan kaca, bahkan bobot gravitasi yang terbalik—untuk melawan. Satu per satu, bayangan anak buah Komandan Surya tumbang, terkapar tak bergerak di antara puing-puing dan genangan cairan yang mulai mengalir dari mobil-mobil terbalik.
Pada akhirnya, hanya siluet Komandan Surya yang tersisa, terengah-engah, berlutut di tengah lingkaran kematian yang diciptakan Raka. Lampu darurat berkedip, memproyeksikan bayangan mereka berdua di dinding.
“Siapa dia?” tanya Raka lagi, suaranya kini seperti bisikan mematikan. Ia menjatuhkan diri di depan Komandan Surya, bayangannya menyelimuti sang komandan. “Jawab gue, Surya! Dia siapa ?!”
Komandan Surya terbatuk, darah mulai keluar dari mulutnya. Ia menatap Raka, senyum sinis dan putus asa tercetak di wajahnya yang samar. “Lo… ga bakal pernah tahu…”
Sebelum Komandan Surya bisa mengatakan lebih jauh, siluet Raka bergerak cepat. Terdengar suara krak yang singkat dan mengerikan. Kepala Komandan Surya terkulai dengan sudut yang tidak wajar, tubuhnya kejang sesaat, lalu ambruk tak bernyawa. Raka telah mematahkan lehernya.
Parkiran underground itu kini sunyi, kecuali suara tetesan cairan dari mobil-mobil yang terbalik dan hembusan napas Raka yang berat. Ia adalah satu-satunya yang tersisa di sana, berdiri tegak di tengah tumpukan bayangan tak bernyawa. Pertanyaan itu masih menggantung di udara, tak terjawab.
“BANGSAAAAAAAAAAATTTT!!!!!”
Teriak Raka ditengah kekesalan tanpa jawaban yang terlihat dari punggunya yang lebar dan badannya yang tinggi didalam parkiran itu.
Arfan bergerak cepat menuju pintu tangga darurat, seolah-olah pintu itu adalah satu-satunya jalan keluar dari mimpi buruk ini. Adityo, dengan napas terengah-engah, segera mengikutinya. Mereka melewati lorong yang kini terasa seperti sebuah terowongan yang aneh, penuh dengan pecahan kaca dan gypsum yang menempel di “dinding” (yang dulunya adalah langit-langit).
Saat mereka tiba di dekat area toilet, bau busuk yang menyengat langsung menyeruak, menusuk hidung. Bau tai dan air kencing yang tumpah dari kloset dan urinoir yang kini terbalik di “lantai” (plafon) membuat udara terasa tebal dan menjijikkan. Arfan, yang tak siap dengan aroma mengerikan itu, refleks menutup mulut dan hidung. Beberapa detik kemudian, ia ambruk, memuntahkan isi perutnya di atas genangan menjijikkan yang bercampur kotoran dan puing.
“Anjing! Apaan nih?!” Arfan terbatuk-batuk, wajahnya pucat pasi, menatap Adityo dengan pandangan jijik.
Adityo mengernyit, meski dirinya juga merasakan mual. Ia mengamati Arfan. Meskipun pria itu berasal dari divisi Distribusi yang seharusnya tangguh menghadapi berbagai kondisi, Arfan menunjukkan kelemahan fatal terhadap hal-hal yang “menjijikkan”. Adityo sadar, kondisi ini bisa menjadi beban.
“Dengar, Fan,” kata Adityo, suaranya rendah dan serius. “Gravitasi kebalik. Apa aja yang bisa terjadi. Sepiteng tadinya dibawah sekarang diatas, sisanya lo bayangin sendiri.”
Arfan mengangguk kaku, masih berusaha menguasai dirinya. Mereka berdua melangkah hati-hati melewati genangan kotoran itu, sepatu mereka kini basah dan terasa lengket. Begitu mencapai tangga darurat, pemandangan yang tak kalah mencengangkan menyambut mereka. Tangga-tangga besi yang biasanya kokoh dan berjejer rapi posisinya terasa aneh dalam gravitasi baru ini. Untuk ‘naik’ ke lantai dasar, mereka harus memanjat ke arah yang dulunya adalah ‘bawah’. Tangga-tangga itu kini miring tajam ke ‘atas’, terasa seperti permukaan perosotan raksasa tanpa pijakan yang mantap. Yang lebih mengerikan, pegangan tangan atau pembatas di pinggirannya kini berada di ‘bawah’ mereka, sama sekali tidak berfungsi sebagai pengaman di atas. Dengan sepatu yang basah dan lengket terkena kotoran, setiap gerakan terasa berbahaya. Satu kali tergelincir, dan mereka bisa meluncur ke “atas”—yang berarti jatuh bebas ke arah atap gedung, menuju kematian yang pasti.
Mereka mulai merangkak, memanjat dengan susah payah, berpegangan pada apa saja yang bisa mereka raih. Perjalanan itu terasa sangat lambat dan menegangkan. Akhirnya, dengan susah payah, mereka berhasil mencapai lantai empat.
Begitu kaki mereka berpijak di “lantai” (plafon) lantai empat, Arfan langsung menatap ke atas, matanya tertuju pada poros void yang menjulang jauh ke lantai dasar. “Gue rasa kita langsung aja, Dit! Kita terus aja naik ke lantai dasar, cari jalan keluar!”
Adityo menggeleng tegas. “Nggak, Fan. Kita nggak bisa gitu. Kita harus cek lantai ini dulu. Mungkin ada yang masih hidup, butuh bantuan lebih dari Ibu Rina.”
“Hah?! Lo gila?!” Arfan langsung melotot. “Dit! Kita harus naik ke atas! Ngapain buang-buang waktu buat orang yang mungkin udah mati?!”
Adityo menatap Arfan, tatapan kecewa mulai muncul di matanya. “Kita nggak akan tahu kalau nggak dicek, Fan. Ini namanya tanggung jawab. Lo egois banget, sih!”
“Egois?! Lo bilang gue egois?!” Arfan tertawa pahit. “Ini kiamat, Dit! Buat apa mikirin orang lain kalau kita sendiri nggak tahu nasibnya gimana?! Mikirin diri sendiri itu bukan egois, itu bertahan hidup!”
Debat mereka memanas, Adityo mulai merasakan keegoisan Arfan yang sebenarnya. Namun, Arfan akhirnya menghela napas panjang, tatapannya menyiratkan perhitungan. Ia tahu ia sendirian takkan bertahan.
“Oke, oke, fine!” Arfan berkata dengan berat hati. “Tapi jangan lama-lama. Gue butuh temen, dan lo satu-satunya orang gila yang masih peduli sama hal beginian.”
Adityo tak menanggapi sindiran itu. Mereka berdua mulai menyisir ruangan kantor lantai empat. Pemandangan di sana tak jauh berbeda dari lantai lima: kekacauan, reruntuhan, dan tubuh-tubuh tak bernyawa. Adityo memeriksa satu per satu, berharap menemukan tanda kehidupan.
Saat melewati sebuah bilik, Adityo melihat sesosok tubuh wanita tergeletak, wajahnya menghadap ke bawah. Setelah dibalikkan, Adityo tertegun. Wanita itu dulunya pasti sangat cantik dan memiliki figur ideal, dengan rambut panjang terurai dan kulit bersih. Ia adalah salah satu staff customer service yang sering jadi buah bibir para karyawan pria di gedung ini. Namun kini, perutnya tertusuk besi bongkahan dari kerangka meja yang melengkung, darah mengering di sekeliling lukanya. Ia sudah tak bernyawa.
Arfan mendekat, melihat mayat itu. “Wah, si Risa? Gila, cantik banget padahal ya. Idaman para perjaka di sini.” Ia berbicara seolah tak ada yang salah, nadanya aneh, campuran takjub dan hambar.
Adityo hanya menghela napas, fokusnya kembali mencari korban selamat. Ia bergerak ke bilik berikutnya, memeriksa reruntuhan. Namun, beberapa detik kemudian, ia terkaget. Ia menoleh ke belakang, menyangka Arfan membantunya mencari, namun yang ia lihat justru Arfan yang… sedang “bermain” dengan tubuh mayat Risa. Arfan terlihat… tangan kirinya perlahan membuka kancing-kancing blus wanita itu, sementara jari-jari kanannya merayap ke arah dada. Ekspresi Arfan, disinari lampu darurat yang redup, adalah campuran antara ketakutan yang terdistorsi dan nafsu yang menjijikkan. Adityo bahkan melihat Arfan menunduk, menjilati leher mayat itu.
“Arfan! Ngapain lo?!” Adityo berseru, suaranya sarat kemarahan dan jijik.
Arfan terlonjak, namun tidak menunjukkan rasa malu. Ia menatap Adityo dengan seringai tipis. “Kenapa, Dit? Nggak ada yang salah, kan? Toh dia udah mati. Nggak ada yang tahu juga.”
“Gila ya lo, Fan! Udah mati aja, lo masih—” Adityo tak bisa melanjutkan, amarah membakar dirinya.
“Udah mati..kan ?!Udah nggak guna lagi! Yaudah sih nimatin aja selagi bisa? Ga ada yang dirugiin ini!” Arfan menjawab dengan nada menantang, pandangan matanya kosong namun penuh nafsu yang mengerikan.
Moral Adityo memberontak. Di tengah kehancuran fisik ini, kehancuran moral Arfan adalah hal yang lebih menjijikkan. Tanpa berpikir panjang, Adityo menerjang. Ia tak bisa menerima argumen itu. Pertarungan fisik pun tak terhindarkan.
Arfan yang lebih besar dan brutal melancarkan pukulan membabi buta. Namun Adityo, yang lebih gesit dan didorong kemarahan, berhasil menghindari sebagian besar serangan. Ia melilitkan gulungan kabel LAN yang tadi mereka bawa ke pergelangan tangan Arfan, lalu dengan kekuatan penuh, ia mendorong Arfan ke tepi poros void lantai empat.
Tubuh Arfan limbung, separuh badannya melayang di atas kekosongan. Kabel itu kini terentang, menahan Arfan dari jatuh ke “bawah”—yang berarti jatuh ke atap gedung di bawah mereka dan menemui kematian. Adityo berpegangan kuat pada ujung kabel yang lain, lengannya bergetar menahan bobot Arfan yang panik dan berteriak ketakutan.
“Adit! Jangan! Jangan lepasin! Gue nggak mau mati!” teriak Arfan, napasnya tersengal-sengal. Matanya membelalak ketakutan, menatap jurang yang kini terbuka di bawahnya. “Lo nggak mau kan jadi pembunuh, Dit?! Lo itu orang baik! Lo nggak bakal bisa hidup tenang kalau ngebunuh gue! Gue salah, gue emang bajingan, tapi gue janji gue bakal berubah! Gue bakal bantu lo! Gue bakal lakuin apa aja! Jangan lepasin, demi Allah, Dit! Please Dit!”
Adityo menahan napas, menatap Arfan yang kini tergantung di ujung talinya. Lengan Adityo terasa nyeri, menahan beban Arfan yang bergetar. Hatinya bergejolak. Kata-kata Arfan tentang “pembunuh” menghantamnya. Benarkah? Apakah ia akan jadi seburuk mereka yang tak punya moral? Namun, bayangan wajah Risa yang tak berdaya dan seringai Arfan yang menjijikkan kembali melintas. Dia berbahaya. Dia ancaman. Bisakah aku mempercayainya? Atau dia hanya akan jadi beban yang lebih besar? Keputusan ada di tangannya, menggantung di ambang kegelapan dan harapan.
Chapter 3 : Perangkap Vertikal
Jakarta, suatu siang yang terik di akhir tahun 2018. Dentingan keyboard yang ramai dan dering telepon yang bersahutan mengisi ruang kantor health tech tempat Adityo bekerja. Di tengah hiruk pikuk itu, Adityo Prasetya, dengan kemeja rapi dan senyum penuh kemenangan, berdiri di hadapan timnya. Aura kepemimpinan yang santun namun tegas terpancar dari setiap gerak-geriknya, sangat jauh berbeda dari sosok petugas kebersihan yang kini ia jalani. Ia memegang papan presentasi kecil, matanya memancarkan kebanggaan.
“Oke, guys,” Adityo memulai, suaranya dipenuhi antusiasme, “saya punya kabar yang lebih dari sekadar menggembirakan. Siap-siap, karena kabar ini bisa bikin kalian semua tidur nyenyak sampai akhir bulan!”
Timnya yang terdiri dari belasan orang, dari yang termuda hingga yang paling senior, menatapnya penuh harap. Adityo mengulum senyum, menikmati momen yang telah ia nantikan ini. “Bulan ini, berkat kerja keras kita semua, kita berhasil over-achieve target ! Dan artinya,” ia sengaja memberi jeda dramatis, “akhir bulan ini, kita semua akan dapat bonus… empat kali gaji!”
Seketika, ruangan itu pecah dalam sorakan riuh. Beberapa bertepuk tangan kencang, ada yang bersiul nyaring, dan beberapa bahkan melompat kegirangan di antara kubikel mereka. Rasa lelah akibat lembur, tekanan target, dan segala tantangan yang mereka hadapi selama berbulan-bulan seolah lenyap seketika, terbayar lunas oleh angka fantastis itu.
“Gila! Beneran, Bang Adit?!” seru Doni, salah satu anggota tim termudanya, matanya terbelalak tak percaya.
“Serius, Doni!” jawab Adityo, tertawa renyah.
Di tengah euforia yang meluap-luap, Bima, seorang pria dengan rahang tegas dan tatapan mata yang dalam, berjalan mendekat. Bima adalah salah satu anak buah terbaik Adityo, sosok yang karismatik, tapi seringkali ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat Adityo sedikit tidak nyaman.
“Wah, Bang Adit memang T-E-R-B-A-I-K!” Bima menyeringai, suaranya keras dan sedikit mengejek, cukup untuk didengar semua orang di ruangan. “Tapi kalau bonus segede gini, saya yakin Bang Adit nggak bakal ikut kita party sampai pagi deh.”
Semua mata tertuju pada Bima, lalu beralih ke Adityo. Adityo mengangkat alis, menatap Bima dengan ekspresi bertanya. “Loh, kenapa gitu, Bim?”
Bima terkekeh pelan. “Ya gimana mau sampai pagi, Bang? Kan Bang Adit pasti udah nggak sabar pengen buru-buru pulang. Mau merayakan momennya sama istri tercinta di rumah.” Ia menatap Adityo lurus-lurus, senyumnya melebar. “Istri Bang Adit itu kan cantik banget, kayak model! Nggak etis rasanya kalau ditinggal party sendirian.”
Senyum Adityo sedikit menegang. Pujian itu seharusnya membuatnya senang—Adelina memang cantik luar biasa, seorang wanita yang selalu ia banggakan. Tapi cara Bima mengucapkannya, di hadapan semua orang, seolah sengaja ingin memojokkan atau memperlihatkan sesuatu yang lebih dari sekadar pujian. Adityo bisa merasakan beberapa tatapan mata teman-temannya yang melirik padanya, lalu pada Bima, seolah ikut merasakan keanehan itu.
“Eh, seriusan Bang Adit punya istri cantik?” celetuk Siska, seorang rekan kerja wanita, matanya berbinar penasaran. “Kok nggak pernah dibawa ke acara kantor sih, Bang?”
“Iya nih, Bang! Penasaran dong kita! Bikin melting nggak kalau lihat langsung?” timpal Rio, disusul tawa kecil dari beberapa rekan kerja lain.
Bima menyeringai tipis, seolah ini adalah momen yang ia tunggu. Tanpa ragu, ia merogoh saku celananya, mengeluarkan ponselnya. Dengan gerakan luwes, ia membuka aplikasi Instagram, mencari sesuatu, lalu memamerkan layar ponselnya ke arah tim. “Nih, lihat sendiri!”
Di layar ponsel Bima, terpampang jelas foto Adelina yang sedang tersenyum manis. Rambut panjangnya terurai indah, dan gayanya memang terlihat seperti seorang model profesional. Foto itu tampak diambil dari jarak dekat, angle yang intim, seolah-olah Bima sangat familiar dengan Adelina.
“Wuih, gila! Cantik banget!” seru Doni, kagum.
“Pantesan Bang Adit betah di rumah!” timpal Siska, kepalanya menggeleng takjub. “Nggak nyangka istrinya bisa secantik itu!”
Adityo merasakan sesuatu bergejolak di dalam dadanya. Bukan hanya kebanggaan seorang suami, tapi juga secercah kebingungan, bahkan sedikit kecurigaan. Bagaimana Bima bisa memiliki foto Adelina di Instagram-nya? Dan mengapa ia begitu bangga menunjukkannya kepada semua orang, seolah foto itu miliknya? Adityo tidak ingat pernah membagikan foto Adelina secara spesifik kepada Bima, apalagi foto yang terlihat begitu personal seperti itu. Rasa tidak nyaman itu perlahan menyusup.
“Bisa aja kamu, Bim,” Adityo memaksakan tawa, berusaha mengendalikan situasi dan menekan perasaan aneh itu. “Ya, tentu saja. Ada yang lebih penting dari pesta. Keluarga.” Adityo menatap Bima sejenak, tatapannya menyiratkan pertanyaan tak terucap, namun Bima hanya membalasnya dengan senyum polos, seolah tak ada yang aneh dari tindakannya.
“Iya, dong!” timpal Bima, menyimpan kembali ponselnya. “Apalagi Ibu Adelina. Pasti seneng banget dengar kabar bonus ini!”
Nama Adelina menguar di ruangan itu, membawa serta aura kebanggaan dan sedikit kebingungan bagi Adityo. Ia mengangguk kaku, “Betul sekali. Adelina pasti senang.” Ia berusaha mengakhiri percakapan itu, mengalihkan fokus kembali pada tim. “Oke,have fun malam ini!”
Sorakan kembali membahana, menenggelamkan sedikit ketidaknyamanan yang baru saja ditimbulkan oleh Bima. Adityo tersenyum pada timnya, namun di balik senyum itu, ada kerutan samar di keningnya. Adelina… Bima… Apa yang sebenarnya ada di pikiran Bima saat mengatakan itu? Dan bagaimana ia bisa punya foto Adelina yang seperti itu? Adityo menggelengkan kepala, berusaha mengusir pikiran itu. Mungkin ia hanya terlalu lelah, atau terlalu senang. Ia akan merayakan malam ini, tapi lebih penting, ia akan pulang ke rumah, menemui Adelina, dan membagikan kabar baik ini langsung padanya.
Setelah insiden menegangkan di tepi void—momen ketika Adityo, dengan segala pergolakan batinnya, mengurungkan niat untuk melepaskan tali yang mengikat Arfan—mereka berdua kini kembali berpijak di lantai empat gedung. Kekacauan di sekeliling mereka tak berkurang. Puing-puing berserakan di mana-mana, furnitur kantor terbalik menempel di “langit-langit” (yang dulunya lantai tiga), dan bau amis darah bercampur debu masih menyengat.
Arfan mengusap wajahnya yang kotor, menatap Adityo dengan pandangan yang sulit diartikan. Ada rasa lega dan sedikit rasa malu di matanya. “Dit… makasih ya,” ucapnya pelan, suaranya masih sedikit serak. “Makasih lo udah… nggak lepasin gue.”
Adityo hanya mengangguk tipis, pandangannya lurus ke depan. Ia tidak membalas ucapan terima kasih itu dengan kata-kata, fokusnya masih pada kengerian yang baru saja mereka lalui dan apa yang harus dilakukan selanjutnya.
Arfan kembali menatap ke arah jendela yang kini menampilkan pemandangan Jakarta yang terbalik, penuh reruntuhan dan benda melayang. Ia masih gemetar, sisa-sisa ketakutan masih melekat. “Gila ya, Dit. Ini kayak di film 2012 gitu, kan? Tapi ini beneran!” tanyanya, suaranya terdengar lebih seperti basa-basi untuk mengusir keheningan yang mencekam.
Adityo menghela napas, pandangannya lurus ke depan, seolah otaknya masih memproses kengerian yang baru saja mereka lalui. “Ga tau, Fan,” jawabnya, suaranya berat. “Gravitasi… kayaknya ada yang salah sama inti bumi. Atau… atau kita yang berubah, bukan buminya.” Adityo menunjuk ke arah puing-puing yang melayang ke atas di luar jendela. “Pokoknya, semuanya yang dulu jatuh ke bawah, sekarang ke atas.”
Arfan mengangguk-angguk, mencoba mencerna. “Kejadiannya di mana aja kira – kira, Dit? Cuma di Jakarta? Apa di seluruh dunia?”
Adityo mengedikkan bahu. “Kayaknya nggak mungkin cuma di sini. Global mungkin.”
“Terus, dampaknya gimana, Dit? Maksud gue, ini bakal sampai kapan? Apa kita bakal terus-terusan kayak gini?” Arfan terus memberondong pertanyaan, rasa ingin tahu bercampur kepanikan.
Adityo terdiam sejenak, matanya menyapu sekeliling ruangan yang hancur, lalu beralih ke pemandangan kota di luar. Ia memperhatikan pola kerusakan, posisi mayat yang berserakan, dan kecepatan benda-benda yang melayang. “Kalau lihat dari skala kerusakannya,” Adityo memulai, nadanya tenang dan analitis, “dan kecepatan perputaran gravitasi tadi pagi… kemungkinan besar yang selamat itu cuma yang posisinya pas, atau yang punya pegangan kuat. Mungkin… nggak lebih dari sepuluh persen.”
Arfan terbelalak. “Sepuluh persen?! Gila! ” Ketakutan akan imajinasinya sendiri terpancar jelas di wajahnya, membuatnya semakin pucat.
“Terus, rencana kita sekarang ngapain Dit?” Arfan bertanya lagi, suaranya sedikit lebih mendesak. “Cari jalan keluar?”
Adityo mengangguk pelan. “Ya, itu yang utama. Tapi sebelum itu…” Ia menatap Arfan, tatapannya tegas. “Kita harus cari tahu dulu siapa yang selamat. Tiap lantai harus cek satu per satu.”
Arfan hanya mengangguk kaku, tanpa semangat. Kakinya terasa berat, seolah setiap langkah adalah beban yang tak tertahankan. Namun, ia tahu ia tidak bisa menolak Adityo. Sendirian di tengah kekacauan ini adalah jaminan kematian.
“Lo… lo itu beneran cleaning service kan, Dit?” Arfan tiba-tiba bertanya, suaranya pelan, penuh keraguan. “Cara lo ngomong, cara lo mikir, cara lo ngitung korban… kayak bukan cleaning service. Lo siapa sih sebenernya?”
Adityo tidak menjawab. Matanya terus memindai, mencari celah di antara puing-puing. Ia melihat ke bilik-bilik kantor yang kini terbalik. Di salah satu bilik, ia melihat sebuah tangan yang bergerak samar.
“Fan, di sana!” seru Adityo, bergegas mendekat.
Tiba-tiba, sebuah suara melengking memecah keheningan yang mencekam. “TOLONG! SIAPAPUN! TOLONG KAMI!”
Adityo dan Arfan menoleh serempak ke arah sumber suara. Dari jendela yang pecah, mereka bisa melihat area kantor di seberang void, yang juga hancur lebur. Di salah satu bagian lantai yang sejajar dengan posisi mereka, tampak beberapa orang yang selamat. Namun, pemandangan yang mereka saksikan membuat darah Adityo dan Arfan seolah membeku.
Orang-orang di area kantor seberang itu tidak dalam kondisi waras. Seorang wanita berteriak histeris, rambutnya acak-acakan, terus-menerus memukuli kepalanya sendiri ke dinding. Seorang pria lain, dengan mata melotot dan air mata bercampur debu, berlutut sambil meracau doa-doa dalam bahasa yang tidak Adityo kenali, tangannya terus-menerus memukul lantai dengan brutal. Yang paling mengerikan, seorang pria lain tiba-tiba berlari kencang menuju tepi void yang menganga, tanpa ragu sedikit pun, dan menjatuhkan dirinya ke dalamnya. Tubuhnya melayang sesaat, lalu menabrak atap gedung di bawah mereka dengan bunyi gedebuk yang mengerikan, tergeletak tak bergerak di antara puing-puing.
“Gila… mereka… mereka udah pada gila,” bisik Arfan, tubuhnya gemetar.
Adityo merasakan jantungnya mencelos. Ia ingin berteriak, menenangkan mereka, tapi jarak memisahkan suara mereka. Ia hanya bisa melihat, tak berdaya, bagaimana orang-orang itu menghancurkan diri mereka sendiri, baik secara fisik maupun mental. Ketakutan, keputusasaan, dan kengerian yang tak terbayangkan telah merenggut kewarasan mereka.
Pemandangan itu menghantam Adityo dengan telak. Ia menyadari sesuatu yang lebih mengerikan dari sekadar gravitasi terbalik. Situasi baru ini, kiamat yang tak terduga ini, bukan hanya menghancurkan bangunan dan fisik manusia. Ia juga mampu mengubah perilaku seseorang, merenggut akal sehat, dan memunculkan sisi tergelap dari diri manusia. Jika orang-orang yang tadinya normal bisa menjadi seperti itu, apa yang akan terjadi pada dirinya? Pada Arfan? Pada Alita? Pertanyaan itu menggantung berat di udara, mengisi hati Adityo dengan ketakutan yang dingin.
Pukul 09:27 pagi, di sebuah ruang kelas SMP yang cerah. Dika Sahardika, dengan seragam putih-birunya yang rapi, duduk di bangkunya. Buku pelajaran Matematika terbuka di hadapannya, namun pandangannya kosong, jauh melampaui rumus-rumus di papan tulis. Otaknya yang cerdas biasanya mampu menyerap pelajaran apa pun dengan mudah, namun pagi ini, pikirannya dipenuhi awan kelabu. Ia merasa gelisah, karena bayangan sosok Bayu, siswa kelas 11 yang terkenal sebagai pemalak dan pembully di sekolah ini. Dika baru saja melihatnya di koridor, tatapan tajamnya seolah menembus Dika, membuat bulu kuduknya merinding.
Belum sempat Dika mengusir kegelisahan itu, pintu kelas tiba-tiba terbuka. Seorang guru piket muncul, wajahnya sedikit cemas. “Dika Sahardika? Ada yang mencari kamu di ruang guru.”
“Mencari saya?” Dika mengerutkan kening. Siapa? Mama biasanya menelepon.
Guru piket mengangguk pada Dika. “Pergilah, Dika. Mungkin ada hal penting.”
Dengan langkah berat, Dika menuju ruang guru. Di sana, ia melihat dua pria berjas hitam berdiri tegak, wajah mereka serius. Dika mengenali mereka; mereka adalah anak buah ayahnya. Jantung Dika mencelos.
“Dika Sahardika?” salah satu pria itu bertanya, suaranya formal. “Bapak Anda ingin bertemu sekarang.”
Dika mengangguk kaku. Ia tahu apa artinya ini. Ayahnya, seorang CEO perusahaan IT raksasa, jarang sekali memanggilnya ke kantor kecuali ada hal penting. Dan “hal penting” itu, bagi Dika, selalu berarti evaluasi, tuntutan, atau kekecewaan. Ayahnya adalah sosok yang brilian, namun juga arogan secara intelektual. Ia selalu menuntut kesempurnaan dan kecerdasan yang sama dari Dika, membuatnya sering merasa tidak pernah cukup baik, selalu di bawah bayang-bayang kebesaran ayahnya. Ketakutan itu mencengkeram perutnya.
Perjalanan dengan mobil mewah hitam terasa sunyi dan panjang. Dika menatap keluar jendela, gedung-gedung pencakar langit Jakarta menjulang tinggi, seolah mengejek kekecilan dirinya. Ia tahu mereka menuju gedung kantor ayahnya, gedung yang sama tempat Adityo bekerja sebagai petugas kebersihan. Ironis, pikir Dika. Ayahnya di puncak menara, dan dirinya… selalu merasa di bawah.
Pukul 11:29 siang. Dika kini duduk di sebuah kursi empuk di ruang kerja ayahnya yang megah, di salah satu lantai teratas gedung. Di hadapannya, Ayahnya, seorang pria paruh baya dengan rahang keras dan tatapan mata tajam, menatapnya dengan ekspresi kecewa.
“Dika,” suara ayahnya datar, namun mengandung beban yang berat. “Laporan nilai Matematika dan Fisikamu semester ini… tidak sesuai ekspektasi Papa. Kamu tahu, Papa ingin lebih dari sekadar ‘cukup baik’ dari seorang Sahardika. Kamu punya potensi, Dika. Kenapa kamu tidak menggunakannya?”
Dika menunduk, tangannya meremas ujung seragam. Kata-kata itu menusuk, persis seperti yang ia takutkan. “Maaf, Pah. Aku sudah berusaha.”
“Berusaha saja tidak cukup,” Ayahnya membalas, nadanya sedikit meninggi. “Kita hidup di dunia yang kompetitif, Dika. Kamu harus lebih dari sekadar berusaha. Kamu harus unggul. Kamu harus menjadi yang terbaik.”
Tepat pada saat itu, sebuah getaran dahsyat melanda. Bukan getaran biasa, melainkan hentakan keras yang membuat seluruh gedung berderit mengerikan. Lampu-lampu kristal di langit-langit berayun liar, lalu terlepas dari dudukannya, melayang ke atas. Vas bunga di meja, tumpukan dokumen, bahkan kursi yang diduduki Ayahnya, tiba-tiba terangkat, terlempar ke atas, menuju langit-langit ruangan yang kini terasa seperti jurang tak berujung.
Dika terhuyung, pandangannya membelalak. Ayahnya berteriak kaget, berusaha meraih sesuatu. Naluri seketika mengambil alih. Dika melihat sebuah meja kerja besar yang kokoh di dekatnya. Tanpa berpikir, ia melompat dan memeluk meja itu erat-erat, merasakan tubuhnya sendiri sedikit terangkat sebelum kembali menempel kuat. Ia menyaksikan kengerian yang terjadi di sekelilingnya: benda-benda yang melayang, menabrak atap ruangan dengan bunyi gedebuk yang mengerikan, atau menghilang ke “atas” melalui celah yang terbuka.
Ini bukan gempa bumi. Ini… ini sesuatu yang lain. Sesuatu yang gila. Dunia telah terbalik. Dika mencengkeram meja itu, matanya dipenuhi ketakutan, namun juga secercah pemahaman yang mengerikan. Ia berada di dalam gedung ini, di tengah pertemuan yang ia takuti, tepat saat kiamat kecil ini dimulai.
Pemandangan orang-orang yang kehilangan kewarasan di seberang void menghantam Adityo dengan telak. Ia menyadari sesuatu yang lebih mengerikan dari sekadar gravitasi terbalik. Situasi baru ini, kiamat yang tak terduga ini, bukan hanya menghancurkan bangunan dan fisik manusia. Ia juga mampu mengubah perilaku seseorang, merenggut akal sehat, dan memunculkan sisi tergelap dari diri manusia. Jika orang-orang yang tadinya normal bisa menjadi seperti itu, apa yang akan terjadi pada dirinya? Pada Arfan? Pada Alita? Pertanyaan itu menggantung berat di udara, mengisi hati Adityo dengan ketakutan yang dingin.
“Dit! Woy, Dit! Sadar!” Suara Arfan yang melengking menusuk gendang telinga Adityo. Arfan mengguncang bahu Adityo dengan kasar. “Lo nggak bisa kayak gini terus! Kita nggak punya waktu buat mikirin yang nggak-nggak! Inget, Dit! Di lantai lima! Ibu Rina sama Pak Bagus! Siapa tahu mereka masih hidup dan bisa bantu kita cari jalan keluar!”
Kata-kata Arfan, meskipun kasar, berhasil menyentak Adityo kembali ke kenyataan. Ibu Rina. Pak Bagus. Mereka masih hidup. Mereka masih bisa diselamatkan. Adityo menghela napas panjang, berusaha menyingkirkan bayangan kengerian dari benaknya. Alita… ia harus menemukan Alita. Dan untuk itu, ia harus tetap waras dan bergerak.
“Lo bener, Fan,” kata Adityo, suaranya serak namun lebih tegas. Ia bangkit berdiri. “Kita ke lantai lima sekarang.”
Mereka berdua berjalan kembali menuju tangga darurat. Setiap langkah terasa berat, namun ada tujuan baru yang mendorong Adityo. Puing-puing berserakan, dan bau amis darah bercampur debu masih menyengat.
Mereka terus bergerak, menaiki tangga yang kini terasa seperti menuruni tebing. Di tengah perjalanan, Arfan tiba-tiba terkekeh pelan.
“Eh, Dit,” Arfan memulai, “gue baru inget. Lo dari tadi nyebut ‘lantai empat’, ‘lantai lima’. Padahal kan di gedung-gedung Indonesia, lantai empat itu biasanya disebut ‘3A’ atau ‘M’ buat lantai mezzanine kan? Biar nggak sial katanya.”
Adityo menatapnya, sedikit terkejut dengan topik yang tiba-tiba kasual itu. Ia menghela napas, mencoba tersenyum tipis. “Ya, itu memang kebiasaan di sini. Katanya angka empat itu identik dengan kematian dalam kepercayaan Tionghoa, jadi dihindari. Tapi buat gue, ya lantai empat tetap lantai empat. Nggak ada bedanya. Apalagi sekarang, semua lantai ini udah kayak neraka semua.” Adityo berhenti sejenak, menatap ke sekeliling. “Nggak ada yang peduli lagi sama angka sial atau hoki sekarang. Yang penting selamat.”
Arfan mengangguk, terdiam sejenak. Ia lalu menatap Adityo dengan tatapan menyelidik. “Tapi, Dit, gue penasaran. Lo siapa sih sebenernya?”
Adityo tidak menjawab, hanya mengalihkan pandangannya, seolah tidak mendengar pertanyaan itu. Ia mempercepat langkahnya, fokus pada tujuan mereka.
“Lo… udah nikah, Dit?” tanya Arfan tiba-tiba, suaranya sedikit lebih tenang. “Punya anak?”
Pertanyaan Arfan menghantam Adityo seperti palu. Istri. Adelina. Bagaimana bisa ia melupakannya ? Dalam kekacauan dan horor yang ia alami, ia benar-benar lupa tentang keberadaan orang-orang terpenting dalam hidupnya. Rasa bersalah yang menusuk tiba-tiba membanjiri dirinya.
“Gue… gue punya,” jawab Adityo, suaranya tercekat. Ia segera merogoh saku celananya, mencari ponselnya. Ajaibnya, ponselnya masih ada dan selamat di dalam saku celananya. Dengan tangan gemetar, ia mencoba menghubungi Adelina.
Tut… tut… tut…
Panggilan itu tidak diangkat. Adityo mencoba lagi. Dan lagi. Tetap tidak ada jawaban. Kekhawatiran mencengkeram hatinya. Apa yang terjadi pada Adelina dan Alita?
“Nggak diangkat,” gumam Adityo, lebih kepada dirinya sendiri. Ia beralih ke aplikasi WhatsApp, mengetik pesan dengan cepat.
Sayang, kamu sama Alita baik-baik aja kan? Kamu di mana? Tolong balas secepatnya. Aku khawatir banget.
Ia mengirim pesan itu, berharap Adelina akan segera membalas. Ia akan terus mencoba menghubunginya begitu ada kesempatan.
Mereka akhirnya tiba di lantai lima. Pemandangan di sana tak kalah mengerikan dari lantai empat. Adityo langsung fokus pada Ibu Rina yang terkapar di samping Pak Bagus. Ibu Rina sedang duduk, memeluk tubuh Pak Bagus, bahunya bergetar hebat, dan isak tangisnya memilukan. Wajah Pak Bagus membiru, matanya terbuka kosong, dan tubuhnya kaku.
“Ibu Rina! Pak Bagus!” Adityo bergegas mendekat, menjatuhkan diri di samping Ibu Rina.
“Pak Bagus… Pak Bagus udah nggak ada, Tyo…” isak Ibu Rina, suaranya pecah, menunjuk wajah membiru Pak Bagus.
Adityo memeriksa napas Pak Bagus. Tidak ada. Ia mencoba merasakan denyut nadi di pergelangan tangan Pak Bagus. Hampa. Wajahnya yang membiru, yang tadi sempat ia lihat dari jauh, kini terlihat jelas sebagai tanda kematian. Tubuhnya dingin.
Kematian Pak Bagus, tepat di hadapannya, setelah semua usahanya, menghantam Adityo dengan telak. Ini adalah kegagalan lain. Kegagalan yang terasa begitu personal, menambah beban di pundaknya. Dunia ini… benar-benar telah berubah menjadi neraka, tempat di mana setiap usaha bisa berakhir sia-sia, dan harapan hanya ilusi. Adityo mengepalkan tangan, menahan emosi yang bergejolak.
Arfan, yang juga terdiam melihat pemandangan itu, mendekat dan menepuk bahu Adityo. “Dit, Udah cukup. Kita harus realistis. Yang udah pergi, ya udah. Sekarang fokus kita ke yang masih ada, ke yang masih bisa kita selamatin.”
Adityo menghela napas berat, mencoba menenangkan diri. Ia menatap Ibu Rina yang masih terisak. “Ibu Rina, kita harus pergi dari sini. Lantai ini… lantai atas ini, sekarang jadi bagian bawah yang rusak. Bisa terbelah kapan saja.”
Ibu Rina hanya mengangguk lemah, terlalu syok untuk bicara.
Adityo menatap Arfan. “Fan, bantu gue. Kita harus bawa Ibu Rina ke lantai dasar, satu-satunya tempat yang mungkin masih stabil.”
Arfan mengangguk, wajahnya serius. “Oke, Dit. Gue bantu.”
Tim yang baru terbentuk ini—Adityo, Arfan, dan Ibu Rina—kini bersiap untuk menempuh perjalanan paling berbahaya mereka: menuruni gedung yang kini terbalik, menuju lantai dasar yang dulunya adalah titik awal, dan kini menjadi satu-satunya harapan mereka.
Adityo dan Arfan segera berjongkok, mengapit Ibu Rina di antara mereka. Dengan hati-hati, mereka mengangkat tubuh Ibu Rina, memapahnya agar bisa bergerak. Ibu Rina meringis kesakitan setiap kali kakinya menyentuh puing, namun ia berusaha menahan diri.
“Duh, Bu, berat juga ya,” celetuk Arfan, sedikit terengah-engah, sambil melirik Adityo. “Ibu ini kayaknya perlu diet deh, biar kita nggak terlalu ngos-ngosan.”
Adityo melotot tajam ke arah Arfan. “Fan! Omongan lo!” desisnya, suaranya tertahan marah.
Arfan hanya cengengesan, tidak peduli dengan tatapan Adityo. “Ya kan gue cuma bilang apa adanya, Dit. Biar realistis.”
Mereka terus bergerak perlahan, melewati lorong-lorong kantor yang kini terasa asing. Saat melewati area yang dulunya adalah deretan toilet, bau busuk langsung menyeruak, menusuk hidung. Pemandangan di dalamnya lebih mengerikan: kotoran manusia dan air kencing belepotan di mana-mana, mengalir ke arah “atas” dinding dan menempel di plafon yang kini menjadi lantai.
Ibu Rina, yang tadinya hanya meringis, kini terbatuk dan menutup hidungnya. “Ya ampun… bau banget!” rintihnya, wajahnya semakin pucat.
“Wah, Bu, ini mah udah kayak WC umum habis banjir bandang ya,” Arfan kembali menyindir, sambil mengibaskan tangannya di depan hidung. “Mungkin ini yang namanya ‘surga’ buat lalat, Bu.”
Adityo hanya bisa menggelengkan kepala, menahan diri untuk tidak membalas Arfan. Fokusnya adalah melewati area menjijikkan ini secepat mungkin.
Setelah berhasil melewati lorong toilet yang mengerikan, mereka kembali ke tangga darurat. Namun, pemandangan di hadapan mereka membuat Ibu Rina terkesiap. Tangga darurat itu kini benar-benar terbalik, anak tangganya menjulang ke atas seperti perosotan curam tanpa pijakan yang kokoh. Pegangan tangan yang seharusnya membantu kini berada di bawah, tidak bisa dijangkau.
“Ya Tuhan… gimana saya naiknya?” Ibu Rina bertanya, suaranya dipenuhi kepanikan. Kakinya yang terluka terasa semakin berat. “Saya gak bisa ngerangkak sendirian. Kalo dibantu kalian, kita bisa sama-sama kepleset balik lagi atau jatuh ke lantai bawah!”
“Atas” potong Adityo.
“Hah?” tanya Ibu Rina yang tidak mengerti maksud Adityo.
Arfan tertawa kecil karena seperti sedang de javu “Maksud Adityo,bu. Jatuhnya memang kebawah tapi sekarang gravitasi kebalik, jadi lantai bawah itu sebenernya lantai atas…”
Ditengah penjelasan Arfan tentang apa yang sedang terjadi kepada Ibu Rina, Adityo tiba-tiba mengerutkan kening. Ia mendengar suara. Suara tangisan yang samar, seperti anak remaja, datang dari suatu tempat di lantai bawah mereka.
Dika terisak, namun tak ada suara yang keluar. Ia terlalu takut, terlalu terkejut untuk bersuara. Rasa sakit mulai menjalar di sekujur tubuhnya, akibat benturan dan serpihan puing yang menggores kulitnya saat ia berpegangan. Air mata mengalir deras, bercampur debu dan darah.
Setelah beberapa saat, ketika getaran dahsyat mereda dan sebagian besar benda sudah “jatuh” ke atas, Dika perlahan melepaskan pegangannya dari meja. Ia berdiri di atas plafon yang kini menjadi lantai, merasakan kakinya sedikit terangkat jika ia tidak berhati-hati.
“Papah…?” Dika memanggil, suaranya parau. Dengan langkah gontai, ia mulai mencari ayahnya di antara reruntuhan kantor yang kini terbalik. Ia melangkahi puing-puing, menunduk di bawah furnitur yang menempel di “dinding”, matanya mencari sosok yang terakhir ia lihat terlempar ke atas.
Tidak jauh dari tempatnya berpegangan, Dika menemukan Ayahnya. Tubuh Ayahnya terhimpit di antara tumpukan puing, menempel di “langit-langit” yang kini menjadi lantai. Posisinya aneh, tidak wajar, dengan anggota tubuh yang patah dan wajah yang membeku dalam ekspresi teror. Darah mengering di sekelilingnya, membuat pemandangan itu semakin mengerikan. Dika melihatnya, sosok yang tadi pagi masih menuntut kesempurnaan darinya, kini tak lebih dari gumpalan daging tak bernyawa yang tak lagi berbentuk manusia.
“PAPAHHHHHH!” Dika menjerit histeris. Suara itu pecah dari dalam dirinya, lebih dari sekadar tangisan, itu adalah raungan keputusasaan. Ia terduduk, tubuhnya gemetar tak terkendali.
Pandangannya menyapu sekeliling ruangan yang hancur. Ia melihat orang-orang lain, rekan kerja ayahnya, yang juga bernasib sama. Ada yang tertimpa lemari arsip, tubuhnya gepeng. Ada yang terjepit di antara reruntuhan, matanya melotot kosong. Ada yang lehernya patah, tergantung dalam posisi aneh. Berbagai macam kondisi kematian yang mengerikan terpampang di hadapannya, seolah dunia telah berubah menjadi pameran mayat yang brutal.
Dika bangkit, rasa takut yang luar biasa mendorongnya untuk segera keluar dari tempat terkutuk ini. Ia mencoba mencari jalan keluar dari labirin kantor ayahnya, berlari tanpa arah yang jelas. Ia menabrak dinding, terpeleset di atas puing, dan akhirnya menabrak sebuah kaca jendela besar yang sudah retak. Kaca itu pecah, menciptakan lubang menganga.
Dika terhuyung ke tepi lubang, dan pandangannya langsung tertuju ke bawah. Bukan, bukan ke bawah. Tapi ke langit. Langit Jakarta yang tadinya di atas, kini berada di bawah kakinya, tampak seperti jurang biru gelap yang tak berujung. Gedung-gedung pencakar langit yang dulunya menjulang tinggi, kini terlihat seperti akar-akar raksasa yang mencuat dari tanah, melayang dan berputar pelan di bawah sana.
“AAAAAAAAAAHHHHHH!” Dika menjerit lagi, histeris. Pemandangan itu terlalu banyak untuk dicerna otaknya yang masih remaja. Ia berlari tanpa arah, menabrak apa saja yang menghalangi. Tubuhnya terasa sakit di mana-mana karena benturan dan serpihan puing yang terus menggores.
“MAMAH! MAMAHHHH!” Dika berteriak, suaranya pecah seperti anak SD yang tersesat dan mencari ibunya. Ia terus berlari, berharap ada jawaban, ada yang bisa menolongnya. Namun, hanya keheningan yang menjawab, diiringi suara gemuruh dari gedung yang terus berderit.
Lari Dika melambat, napasnya tersengal-sengal. Tidak ada jawaban. Tidak ada pertolongan. Dunia sudah berakhir. Ia merasa sendirian, seolah hanya dirinya yang tersisa. Kelelahan dan keputusasaan yang mendalam akhirnya menguasainya. Ia berhenti berlari, tubuhnya sempoyongan. Dengan sisa tenaga, ia berjalan tertatih-tatih, seperti zombie, sampai akhirnya ambruk di sudut tangga darurat. Ia meringkuk, memeluk lututnya erat-erat, dan menangis sejadi-jadinya. Tangisan pilu seorang anak remaja yang putus asa, bergema di lorong tangga yang sepi. Tangisan yang samar-samar, dari suatu tempat di lantai bawah, mencapai telinga Adityo di lantai yang berbeda.
“Fan, Bu Rina, denger nggak?” Adityo memotong penjelasan Arfan, matanya memicing, mencoba memastikan. “Kayaknya ada suara tangisan. Pasti ada korban selamat!”
Arfan berhenti berbicara, ekspresinya berubah dari geli menjadi sedikit takut. Ia mendengarkan sejenak, lalu terkekeh sinis. “Ah, paling juga suara kuntilanak, Dit.”
Adityo menatap Arfan, ekspresinya mengeras. “Ini bukan waktunya bercanda, Fan! Ini suara orang minta tolong!”
“Tolong lagi? Dit, lo nggak capek apa?” Arfan membalas, nada suaranya meninggi, menunjukkan kemuakan. “Moralitas lo itu, yang bikin kita semua bisa mati, Dit! Kita udah di sini, udah aman, kenapa harus turun lagi ke tempat yang nggak jelas sih?!”
“Masa orang masih idup mau kita tinggalin sih, Fan ?!” Adityo berteriak, amarahnya memuncak.
“Cukup!” Suara Ibu Rina, meskipun lemah, berhasil menghentikan perdebatan mereka. “Adityo benar. Menolong itu tindakan yang benar. Kita bakal tunggu di sini. Kamu pergilah. Hati-hati, Dit” Ibu Rina menatap Adityo dengan tatapan penuh keyakinan.
Adityo mengangguk kepada Ibu Rina, lalu menatap Arfan. “Lo denger sendiri kan, Fan? Gue harus turun.”
Arfan mendengus, namun akhirnya mengangguk pasrah. “Oke, oke. Tapi kalau ada apa-apa, jangan salahin gue.”
“Tolong! Tolong saya!” Suara tangisan itu kini terdengar lebih jelas, memanggil-manggil.
“Kalian tunggu di sini! Saya akan turun!” Seru Adityo.
Tanpa menunggu jawaban, Adityo segera menyusuri perosotan tangga darurat yang terbalik itu. Ia meluncur turun dengan hati-hati, menggunakan tangan dan kakinya untuk mengendalikan kecepatan. Setiap lantai yang ia lewati terasa seperti menaiki anak tangga yang tak berujung. Ia berteriak, “Dek! Ada saya! Sabar ya, Dek!”
Awalnya, tangisan dari bawah itu tidak merespons. Namun, seiring Adityo semakin dekat, suara tangisan itu perlahan menguat, dan disusul dengan teriakan putus asa, “Tolong! Saya di sini! Tolong saya!”
Dika, yang meringkuk di sudut tangga darurat, mendengar suara itu. Suara seorang pria. Awalnya ia mengira itu hanya halusinasi, bagian dari kegilaan yang melanda dirinya. Namun, suara itu semakin jelas, semakin dekat. Harapan, secercah harapan yang nyaris padam, tiba-tiba menyala kembali di dalam dirinya. Ia mengangkat kepalanya, matanya yang sembab menatap ke arah suara itu, dan kembali mencoba meminta pertolongan.
Adityo terus meluncur, melewati lantai demi lantai. Akhirnya, ia melihat siluet kecil meringkuk di salah satu sudut tangga di lantai sembilan. Itu Dika.
“Dek!” Adityo berseru, suaranya lega. Ia meluncur hingga berhenti tepat di samping Dika.
Dika mendongak, matanya yang sembab membelalak melihat Adityo. Wajahnya yang kotor dan penuh air mata tiba-tiba dihiasi senyum lebar yang tulus. “Om! Om beneran ada!” Ia spontan memeluk Adityo erat-erat, seperti anak kecil yang menemukan orang tuanya setelah tersesat. Kebahagiaan murni terpancar dari dirinya, seolah semua kengerian yang baru saja ia alami sirna seketika.
Namun, kebahagiaan itu hanya sesaat. Tiba-tiba, gedung itu bergetar hebat lagi. Suara retakan keras terdengar dari dinding, diikuti gemuruh puing-puing yang berjatuhan dari “langit” di atas mereka. Suara itu semakin memburuk, seperti raungan monster yang sedang terkoyak.
Dika tersentak, pelukannya mengendur. Matanya kembali membelalak ketakutan, menatap ke atas. Trauma kematian ayahnya dan pemandangan mengerikan di kantor kembali menghantuinya. “Nggak… nggak lagi… aku… aku gak mau mati…” gumamnya, suaranya bergetar, mulai berbicara sendiri.
Adityo merasakan pijakan mereka mendadak miring drastis. Gedung itu seolah terbelah, dengan bagian di sekitar lantai enam atau tujuh condong tajam. Ia sadar, mereka harus segera bergerak naik, kembali ke Arfan dan Ibu Rina. Tapi Dika…
“Dek! Kita harus naik!” Adityo mencoba menarik Dika. Namun, kondisi mental Dika yang sudah di ambang batas membuatnya sulit bergerak. Dika hanya meringkuk, terus bergumam, matanya kosong, seolah jiwanya sudah terpisah dari raganya.
“Dit! Lo denger gue?!” Suara Arfan melengking dari atas, terdengar samar namun jelas. “Gedungnya goyang lagi, Dit! Kayak ada tembok yang ambruk! Cepet, Dit! Jangan lama-lama di sana!”
Adityo menoleh ke atas, lalu kembali menatap Dika. Anak itu benar-benar sudah di ambang batas. Matanya kosong, bibirnya terus bergumam tak jelas. Tidak ada waktu lagi untuk membujuknya. Gedung ini bisa runtuh kapan saja.
Dengan tekad bulat, Adityo membungkuk. “Maaf, Dek,” bisiknya, lalu mengangkat tubuh Dika ke punggungnya. Meskipun Dika adalah anak SMP, tubuhnya tetap memiliki bobot yang signifikan, dan Adityo harus menopangnya dengan kuat.
Dengan Dika di punggungnya, Adityo mulai bergerak. Ia tidak lagi meluncur. Setiap langkah adalah perjuangan, memanjat “perosotan” tangga darurat yang terbalik itu. Ia menggunakan tangan dan kakinya, mencengkeram setiap celah, mendorong tubuhnya ke atas. Suara gemuruh gedung semakin keras, puing-puing kecil mulai berjatuhan dari atas, menambah urgensi. Tiba-tiba, dengan raungan yang memekakkan telinga, gedung itu terbelah. Dari lantai tujuh hingga ke atap, seluruh bagian atas gedung terlepas, melayang ke langit, membawa serta puing-puing dan sisa-sisa harapan.